Jumat, 04 Januari 2013


PENERAPAN HUKUM ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT LOMBOK ANTARA TANTANGAN DAN PELUANG[1]
(Sebuah catatan pinggir tentang Peta Sosiologis di Gumi Sasak)

Oleh : Muhammad Zaenuri [2]

PENDAHULUAN

Abstraksi

Membahasakan hukum Islam dalam konteks sosiologis akan memberikan pemaknaan lain dengan “bahasa” normatif, setidaknya klasfikasi Amin Abdulloh tentang normatifitas dan historisitas menjadi pendekatan yang “mendekatkan” proses pemahaman agama terutama dalam konteks praksis dan faktualnya[3]. Kondisi sosiologis semacam budaya, ekonomi, alam dan seterusnya memberikan peluang “shifting paradigm” dalam hukum Islam. Shifting paradigm atau perubahan pemikiran dan pemaknaan dalam memahami agama menjadikan wajah agama menjadi sangat elastis. Wacana elastisitas ini menjadikan peran agama sebagai “solusi” persoalan hidup manusia dewasa ini menjadi dirindukan. Kerinduan manusia ini bermakna ganda bagi pemegang hak pemaknaan terhadap agama, sebutlah mereka para ulama’, tuan guru, cendekiawan bahkan umatnya di satu sisi sebagai peluang dan di sisi lain sebagai tantangan, dan ini apabila berbicara agama-agama yang masuk dalam garis tipologis sebagai Missionaris Religions atau dalam bahasa agama Islam sebagai agama dakwah. Kerinduan yang terasa mendesak karena tuntutan berbagai macam persoalan baik paradigmatik konseptual maupun yang praksis. Setidaknya Islam memiliki potensi eksistensial yang diharapkan dapat menjawab itu semua. Ranah hukum menjadi dilema dan ajang pertarungan yang “sengit” dalam proses pemaknaan ini, setidaknya banyak fakta menunjukkan hal ini, konflik yang bahkan menjurus ke konflik fisik menyertai multi segmentasi makna. Satu hal yang perlu dicatat sebagai “secercah terang” optimisme yaitu semakin dewasanya pemikiran dan diskusi terus dilakukan walaupun memang dalam beberapa kasus faktanya cukup “memprihatinkan” dan menjadi pekerjaan besar umat ini ke depan. Semoga.....


Latar Belakang

Persoalan yang mendera umat Islam dalam konteks “pergaulan” mereka dengan dunia kontemporer, semisal kemiskinan, pendidikan dan krisis politik di beberapa wilayah muslim membuat “wajah” menjadi semakin suram, apalagi ditambah dengan isu terorisme yang menjadi trend hari ini. Tarik menarik kepentingan ekonomi kapitalis yang arah ekonomi dunia yang dilanda resesi dan krisis. Umat Islam berada di “persimpangan” artinya antara mengambil peran akif sebagai bagian dari penduduk dunia dalam rangka mengentaskan berbagai persoalan yang mendera tersebut, serta di sisi lain berusaha menjaga eksistensi keIslaman mereka tetap dapat terjaga dan memiliki warna dalam proses “memperbaiki dunia”.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Lombok, isu-isu keislaman tadi mungkin masih cukup jauh dari nalar sosial mereka, namun berbicara konteks keIndonesiaan, terutama dalam dua sampai tiga dekade belakangan maka akan terlihat konstelasinya begitu massif. Isu-isu tersebut kadang-kadang tidak memberi ruang dan waktu untuk dianalisa dipelajari atau mungkin diolah, semuanya kadang berjalan cepat dan melesat-lesat. Dalam konteks itu penulis ingin berangkat memberikan mungkin saja semacam catatan pinggir untuk dapat mengambil kesimpulan yang diharapkan untuk menguatkan semacam spiritualitas, atau konstruksi sistem sosial yang kita miliki hari ini.

Masyarkat Lombok dengan namanya bumi seribu masjid, seribu Tuan Guru, sejuta Jama’ah, atau mungkin dapat kita labelkan lagi dengan sejuta masalah, sebagaimana juga beberapa daerah di Indonesia, yang sedang dalam proses bergerak dan terus bergerak, proses modernisasi yang massif di mana-mana, arus informasi yang melewati batas logika akan membuat perubahan itu berjalan nyata dan cepat. Setidaknya walaupun misalnya anda bukanlah seorang peneliti pasti akan melihat gejala-gejala sosial yang andaikata anda memakai sedikit saja nalar akademik maka perubahan yang terlihat akan membuat anda tertegun dan mungkin saja memberikan anda kekuatan tambahan untuk melakukan semacam Social Change sebagaimana anda dulu diamanatkan di perkuliahan. Social change atau perubahan sosial dalam arti ke arah yang “berperadaban” (civilized society) tentu merupakan dambaan semua kita, baik sebagai bagian dari masyarakat, atau masyarakat ilmiyyah bahkan umat Islam yang moral agama kita memberi penekanan yang besar terhadap hukum dan ketertataan hidup manusia.

Ketertataan dalam konteks ini adalah terlaksananya hukum dan aturan nilai secara benar dan sadar, dalam konteks sosiologis kemudian akan terlihat bahwa masyarakat yang menjalankan aturan akan memiliki kesadaran yang sama tentang visi hidup bermasyarakat sebagai sebuah tubuh dan sistem yang saling mengikat[4] dan selanjutnya semua anggota masyarkat tersebut akan dengan sadar dan loyalitas akan menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati bersama sebagai wujud nyata komitmen mereka dalam bermasyarakat dan dapat juga dibahasakan dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari warga negara .

Ketika Rasululloh SAW melanjutkan dakwahnya di Madinah sebagai wilayah yang baru, beliau tidaklah berfikir untuk meletakkan aturan sebagai sebuah materi hukum yang membelenggu artinya aturan nilai yang ditawarkan adalah nilai universal (dalam konteks kesepakatan sosial berbeda dalam konteks hukum eskatologis ketuhanan) sehingga kemudian masyakat madinah disebut  sebagai masyarakat yang berperadaban (civilized society), karena masyarakat Madinah saat itu yang terdiri dari berbagai golongan dan unsur sepakat untuk melakukan usaha bersama dalam mewujudkan visi bersama masyarakat Madinah yang diikat dalam kesepakan Madinah (Piagam Madinah)[5].

Kepemimpinan Nabi ketika di Madinah memberikan pendidikan ketatanegaraan yang sangat berharga, dan aplikasinya dapat dimana saja serta kapan saja, gaya serta semua komponen yang terjalin dalam kesatuan masyarakat Madinah menjadi tipologi ideal struktur masyarakat dalam segala masa terutama di era modernitas hari ini. Hegemoni suprastruktur politik yang menggurita sampai ke semua dimensi, artinya hari ini di dunia manapun walaupun kedaulatan rakyat menjadi defenisi kemerdekaan setiap bangsa atau penjajahan fisik mungkin tidak terjadi dimana-mana sebagaimana era imprealisme dulu namun penjajahan dalam bentuk globalisasi dan kendali ekonomi kapitalis yang mengungkung merupakan substansi hegemoni atas pihak lain alias penjajahan masih terus berjalan.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga (berkembang) dalam posisi percaturan dunia hari ini, masih dalam posisi terhegemoni dan terikat dengan kuasa-kuasa kapitalis, kesimpulan ini mungkin saja masih sangat berbau teori konspirasi, tetapi efeknya terlihat dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Hukum yang merupakan produk kebijakan dan politik juga terimbas hegemoni dan ini terlihat dari beberapa produk hukum yang merupakan “pesanan”, dan dalam bentuk lain adalah usaha yang terus dilakukan umat Islam Indonesia untuk memiliki sebuah produk hukum yang mewakili aspirasi dan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia namun belum terealisasi secara maksimal, dan beberapa produk hukum yang berciri Islam masih terkatung-katung sebagai hukum yang “ompong” karena cuma ditetapkan keberlakuannya dengan Inpres.

Lombok dalam peta sosiologis hukum memiliki banyak hal yang menarik untuk dikaji dan dapat menjadi semacam wahana kajian ilmiyyah yang sangat kaya, karena sesuatu yang menarik dalam kerja ilmiyyah adalah fakta-fakta baru, dan dalam konteks ini fenomena-fenomena unik yang mungkin saja tidak ada di daerah lain menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Fokus ulasan dan kajian makalah ini adalah pada konteks soiologi hukum yaitu fenomena penerapan hukum di masyarakat Lombok antara tantangan dan peluang. Kajian ini merupakan bagian dari kerja ilmiyah untuk mencari fakta-fakta yang dapat dijadikan bahan materi ilmu pengetahuan dalam ranah tema besar sosiologi, dan harapan selanjutnya juga agar dapat menjadi bahan evaluasi kebijakan dalam penerapan hukum, supaya hukum dapat memiliki peran sosial yang maksimal.

Tema besar sosiologi hukum merupakan tema kajian sosiologi yang mengaitkannya dengan hukum, yang merupakan derivasi kajian besar sosiologi. Para pakar yang menjadi peletak dasar kajian ini diantaranya : Roscoe Pound, Emile Durkheim, Eugene Ehrlich, Mark Weber, dan Karl Llewellyn. Sosiologi hukum menitik beratkan kajiannnya pada hubungan timbal balik  antara hukum dengan gejala-gejala sosial serta jarak antara cita dan fakta penerapan hukum di masyarakat. Dan dalam makalah singkat ini hal-hal tersebuat akan menjadi tema-tema acuan yang akan memandu kajian makalah ini, harapan kami semoga memberi sebuah jawaban dalam kajian sosiologi hukum atau paling tidak memberi semacam data awal dalam arah kajian yang lebih serius terutama dalam tema kajian sosiologi hukum Islam.



PEMBAHASAN

Pada diskusi sebelumnya, dari beberapa tema yang telah dibahas oleh teman-teman di dalam diskusi kelas, kami melihat teman-teman lebih banyak memfokuskan kajiannya pada tema-tema tradisi dan fakta sosial masyarakat, dan masih belum begitu banyak secara spesifik menyentuh kajian sosiologi hukum, walaupun memang tradisi terutama tradisi keagamaan memiliki kaitan erat dengan nilai dan kebijaksanaan masyarakat yang merupakan unsur awal pembentukan hukum, dan juga secara sosiologis, hukum merupakan manifestasi kebijaksanaan, nilai, kepercayaan, cita dan bahkan agama sebuah komunitas. Artinya sebuah masyarakat dapat dinilai kedalaman nilai sosialnya dari produk hukum yang dihasilkannya. Dan kami dalam makalah ini ingin berusaha mempertatutkan tema-tema kajian sebelumnya dengan konteks sosiologi hukum serta tentang prospek penerapan hukum di masyarakat Lombok khususnya antara peluang dan tantangan. 

Peta sosiologis masyarakat Lombok

Secara sosiologis masyarakat Lombok merupakan masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat agraris. Ini kalau mlihat mayoritas penduduk yang ada di Lombok memiliki profesi sebagai petani dan hidup di pedesaan, walaupun di beberapa kantong, terlihat gerak perkembanga ekonomi dan modernisasi sebagaimana yang ada yng telah ada di kota-kota di Lombok, dan kenyataannya penguasaan gerak ekonomi sebagiannya oleh penduduk non pribumi.

Ciri agraris ini bisa bertaut dengan kecenderungan pemikiran tradisionalis pada masyarakat Lombok, yang khas dengan ketertuntunan nilai dan gerak lambat perubahan sosial, artinya masyarakat Lombok memiliki karakter yang selalu bisa menjaga nilai-nilai karena gerusan meodernisasi dalam kehidupan mereka belum sedahsyat masyarakat yang ada di wilayah perkotaan. Tradisi agama yang selalu dijalankan menunjukkan kesetiaan mereka pada nilai-nilai warisan serta penghargaan mereka kepada nilai agama yang dianut dan kepada pemimpin-pemimpin spiritual keagamaan yang menjadi manifestasi kebenaran ketuhanan.

Dalam tema-tama sosiologi, kepemimpinan ulama’ atau tuan guru disebut kepemimpinan Kharismatik atau kepemimpinan yang didasarkan kepada kharisma dan pesona individu pemimpinnya yang lahir akibat proses pencapaian spiritualitas individu si pemimpin, atau warisan orang tuanya atau juga lahir dengan sebab  konstruksi sosial setempat. Terlepas dari hal itu, melihat masyarakat Lombok hari ini dengan kondisi sosialnya yang agraris tradisional ini memungkinkan kita meletakkan pijakan analisa makalah ini terutama dalam konteks pelaksanaan hukum di masyarakat.

Tema-tema sosiologi hukum

Sebelum lebih jauh melakukan pembahsan, perlu diberikan peta awal ranah-ranah yang menjadi pembahsan spesifik dalam kajian sosiologi hukum yang menjadi salah satu tema sosiologi, agar dapat menjadi acuan kajian selanjutnya, di antaranya :
·         Hukum dan sistem sosial masyarakat
·         Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
·         Sifat sistem hukum yang dualistis
·         Hukum dan kekuasaan
·         Hukum dan nilai sosial budaya
·         Peranan hukum sebagai alat perubahan sosial

Dari tema-tema tersebut terdapat beberapa tema yang menarik untuk diterapkan dalam melihat peta sosiologis masyarakat Lombok terutama dalam konteks sosiologi hukum di antaranya hukum sebagai manifestasi sistem sosial masyarakat, hukum dan kekuasaan  serta peranan hukum dalam perubahan sosial, dari hal tersebut akan memberikan peta yang lebih kongkrit tentang kajian makalah ini, terutama dalam penerapan hukum di masyarakat dan kaitannya dengan tema-tema sosiologi hukum tadi.

Pelaksanaan Hukum di Masyarakat Lombok

Hukum merupakan manifestasi nilai dan cita masyarakat artinya sebuah produk hukum lahir dari aspirasi dan cita bahkan agama sebuah komunitas, artinya ketika masyarakat didefenisikan sebagai sebuah kelompok individu yang memiliki komitmen bersama untuk hidup berdampingan dan meraih cita dan visi bersama, dan hukum merupakan perangkat yang diharuskan dalam rangka menjaga komitmen tersebut, karena ketika pelaksanaan hukum berjalan dengan baik, itu artinya komitmen setiap individunya sangat besar terhadap visi bersama masyarakat tadi.
Di Lombok pelaksanaan hukum positif sebagai manifestasi sistem hukum negara masih belum kuat, namun pelaksanaan hukum adat dan nilai-nilai keagamaan masih cukup terjaga walupun dalam beberapa hal sudah berkurang, mungkin saja proses ini dapat dibaca sebagai penggerusan nilai akibat modernisasi, gerak ekonomi, informasi dan proses dan pendekatan edukasi yang tidak berhasil, namun setidaknya faktanya proses tradisi ini masih berjalan stabil, dan mungkin sebagai sebuah proses alamiah ke depan akan mengalami fluktuasi bahkan mungkin punah.

Kesetiaan kepada nilai lokal dalam pelaksanaan tradisi agama dan budaya setempat terjaga dengan ayoman para pemimpin non formal kharismatik bernama tuan guru, yang selalu memberikan kekuatan moral agama dalam ceramah dan fatwa-fatwa keagamaan yang mereka sampaikan. Posisi politis dan kekuasaan kultural tuan guru sangat sulit digantikan oleh kekuasaan negara dalam konteks pelaksanaan hukum positif terutama dalam hukum perdata. Banyak contoh kasus pelaksanaan hukum positif terabaikan dan masyarakat lebih memilih dan meyakini hukum adat atau hukum agama, walaupun hukum posistif seperti UU no tahun 1974 atau KHI dikompilasi melalui kajian sosial terhadap materi-materi hukum adat yang selama ini dilaksanakan di masyarakat, namun tetap saja keberlakuannya masih sangat belum memadai di masyarakat Lombok. Mungkin saja seandainya hukum perdata disertai dengan sanksi dan  aturan tegas bagi para pelanggarnya maka akan dapat dijamin keterlaksanaannya secara memadai. 

Modernisasi dan perubahan nilai

Setidaknya imbas modernisasi mengambil peran yang signifikan dalam konteks perubahan nilai dan imbas yang lain juga adalah kepada pelaksanaan hukum di tengah masyarakat. Karena sifat modernisasi yang memberikan perubahan di semua sisi dan elastisitas dan keterbukaan pemikiran, empirisisme dan rasionalisme sebagai panduan filosofis, membuat masyarakat memposisikan diri lebih kritis terutama dalam pelaksanaan hukum dan nilai agama yang cenderung dianggap kadang-kadang bertentangan dengan nilai modernitas. Tapi setidaknya hukum positif lebih memiliki peluang untuk diikuti sebagai hasil konfirmasi nilai modernitas yang berwujud hukum positif yang dihasilkan dari rahim filsafat hukum modern.

Lombok dan masyarakat Lombok tergerus juga oleh arus modernitas yang mendunia, walau yang tersisa adalah sisi negatifnya, laju pendidikan yang kian pesat dan gerak ekonomi dan pembangunan, media-media elektronik menjadi corong-corong modernitas yang menawarkan kebebasan merupakan wahana yang dirindukan dalam kelompok muda walau dalam pemaknaan yang masih sangat naif. Hal inilah yang kemudian membuat nilai dan budaya serta di dalamnya apa yang disebut kesetiaan terhadap hukum menjadi memuai, pelaksanaannya kemudian tidak lagi didasari rasa kesetiaan yang tulus namun lambat laun menjadi hanya “tampakan luar” dan upaya menjaga hubungan harmonis dalam bingkai kesatuan masyarakat.

Hukum dan perubahan sosial
Kajian-kajian sosiologi modern melihat hukum tidak hanya sebagai alat kekuasaan negara dan manifestasinya, namun lebih dari itu sebagai manifestasi nilai yang diyakini oleh masyarakat serta menjadi peluang yang besar untuk melakukan perubahan sosial dan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Contoh yang memadai tentang hal ini bagaimana misalnya hukum ekonomi memberikan peranan pola baru ekonomi dunia dan berimbas pada karakter masyarakat dalam memandang nilai dan budayanya.

Harapan awal pembentukan hukum di Indonesia juga adalah perubahan sosial masyarakat akibat pelaksanaan hukum ini, namun fakta yang terlihat terutaa dalam masyarakat Lombok belumlah terlaksana secara memadai dan maksimal, karena masyarakat Lombok lebih memberi ruang yang luas dalam keberlakuan hukum adat dan hukum nonformal yang terasa lebih memberi nilai keadilan dan kebenaran ketimbang hukum negara atau hukum positif.

Politik dan politisasi wajah kita semua

Proses reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998 dan berlanjut pada reformulasi semua kaidah dan tata aturan sistem terutama dalam konteks politik dan demokrasi sebagai fondasi meniscayakan semua proses dilakukan dengan suara terbanyak. Dan belum lagi isu Hak Asasi Manusia yang menjadi trend kemandulan aturan hukum di beberapa bagian artinya pelaksanaan hukuman dulu secara adat banyak terbatasi dengan isu dan pemaknaan yang belum sempurna tentang HAM, yang memang seharusnya memang berjalan sinergis dan linier.

Pemilihan-pemilihan baik kepala negara, daerah bahkan sampai ke tingkat yang paling rendah yaitu pemilihan kadus misalnya telah menjadikan karakter masyarakat yang hipokrit dan hedonis, belum lagi pendekatan yang belum dewasa dalam berpolitik membuat penyakit akut yang bernama proses “curang” money politik menjadi darah daging.  Tidak ada yang tidak terlibat, bahkan proses pemilihan ini disebut dalam idiom kita sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi, entahlah lantas pemaknaannya menjadi pesta yang menjadi awal pembunuhan karakter masyarakat dan menjadi asal-usul penyakit dlam sistem bernegara dan bermasyarakat. Yang sangat parah ketika yang melakukannya adalah mereka yang selama ini menjadi “plipurlara” spiritualitas keagamaan masyarakat yang bernama tuanguru dan ulama. Penulis merasa wilayah  politik praktis belum menjadi rumah yang ramah untuk mereka walaupun perintah agama untuk mewujudkan kemaslahatan kepada banyak orang, namun pilihan untuk ikut bermain dalm dunia politik menjadi pilihan yang sering salah, walaupun tidak menutup kemungkinan seandainya ada dari kalangan mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk ikut terlibat.

Gerusan proses politik menjadi alat pendidikan yang efektif kepada masyarakat untuk megurangi rasa kepercayaannya kepada peran-peran sosial pemerintah dan tokoh-tokoh lainnya, dan berimbas pada krisis dalam pelaksanaan hukum.

Tokoh agama dalam peran

Kekuatan informal dan kultural tokoh agama di Lombok belum tertandingi kuasa politik pemegang kekuasaan. Setidaknya ini masih berjalan baik hingga saat ini, dan ini merupakan potensi besar untuk menjadikan para tokoh agama tersebut sebagai agen perubahan yang evolusioner dalm konteks perubahan sosial yang dipegang oelh agama dengan tokoh-tokohnya. Sebut saja masyarakat Jepang yang maju dan berkembang pesat ditopang oleh filosofi hidup agamanya, inilah yang belum terlihat jelas ketika berbicara peran para tokoh agama di masyarakat.

Tokoh Masyarakat juga harus memiliki sense dan bekal keilmuan yang memadai dalam melihat laju gerak masyarakat, buka untuk mengikuti, namun untuk melakukan upaya pengendalian dan rekayasa yang baik menuju masyarakat yang maju namun memiliki karakter yang sehat dan lurus.

Gerusan politik dan ketidaksiapan para tokoh agama saat ini membuat masyarakat sering kehilangan rujukan dalam melakukan semua proses kehidupannya, akhirnya kekuatan kultural ini seringkali malah kehilangan daya saktinya dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi. Masyarakat merindukan karakter lurus dan jujur dari individu tokoh agama ini agara dapat menjadi harapan baru mereka dalam melihat kenyataan sosial yang sering tidak berkeadilan.

Kesimpulan dan Saran
Dari uraian dan kajian yang telah dilakukan penulis tentang pelaksanaan hukum di masyarakat Lombok, terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan:
1.      Pelaksanaan hukum di masyarakat Lombok masih didominasi hukum adat dan hukum informal, karena hukum negara belum memberikan rasa keadilan dan kebenaran yang diharapkan oelh masyarakat.
2.      Peran hukum dalam perubahan sosial sangat besar, untuk itu, usaha pelaksanaan hukum yang baik di masyarakat harus ditingkatkan agar proses perubahan sosial dapat diarahkan kepada hal yang lebih baik.
3.      Peran sosial tokoh agama memiliki peran signifikan di masyarakat Lombok setidaknya hingga hari ini, namun dapat tergrus dan bahkan hilang kalau tokoh agama ini tidak memberikan jawaban terhadap harapan masyarakat, yaitu sebagai rujukan yang benar tentang moral dan hukum.

Demikianlah kajian ini, dan kami mengakui ini mungkin belum dapat disebut sebagai tulisan ilmiyah murni, karena tulisan ini dalam beberapa bagian, tidaklah mengikuti prosedur penulisan karya ilmiah, namun kami berharap tulisan ini dapat menjadi pemicu kajian-kajian yang lebih serius selanjutnya. Atas semua perhatian kami ucapkan banyak terimakasih.    

Wallohu waliyyuttaufiq....


[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi kelas, untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sosiologi Hukum Islam” semester 3, Program Pasca sarjana IAIN Mataram, Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Kelurga Islam), dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Miftahul Huda, Pada hari jum’at tanggal 28 Desember 2012
[2] Penulis merupakan mahasiswa semester 3, Program Pasca sarjana IAIN Mataram, Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Kelurga Islam).
[3] Historisitas dn norematifitas dikatakan seperti dua sisi mata uang dalam pendekatan studi agama dalam konteks ini agama Islam lebih khusus lagi konteks hukumnya, normatifitas menekankan pada makna teks dan semua alur pemaknaan yang baku sesuai petunjuk “otoritatif” agama, sedangkan historisitas lebih melihat bahwa antara agama dan keberagamaan serta pemahaman terhadap agama adalah sisi yang berbeda, dari segi historisitas, agama akan mengalami proses “dibumikan” atau “dimanusiakan” dalam pemaknaan bahwa manusia merupakan pelaksana atau subyek pelaksanaan agama ini adalah makhluk yang memiliki akal dan sejarah, dalam dua poros tersebut agama akan mengalami pemaknaan dan praktik yang akan sangat selalu terikat dengan tarik menarik dengan sisi normatif dan fakta historis sosiologis yang mengitarinya. Pendekatan ini memungkinkan sebuah peluang mamaknai agama sebagai sebuah solusi budaya dan peradaban manusia terutama dalam alam globalisasi seperti sekarang ini. Tentang hal ini lihat Amin Abdullah
[4] Teori tentang sistem, kontrak sosial meniscayakan bahwa setiap individu dalam setiap kelompok masyarakat akan berjalan dalam sebuah kontrak tidak tertulis untuk menjalankan visi dan cita-cita bersama dalam mencapainya maka ketundukan terhadap aturan ukum dan nilai akan selalu menjadi ruh tingkah lakua setiap individu masyarakatnya. Dalam masyarakat modern kemudian hal ini dapat diwujudkan dengan salah satunya adalah penguatan hukum (law inforsement) di tengah-tengah masyarakat, dalam banyak hal kendali hukum kan menjaga stabilitas yang lain semacam budaya, ekonomi dan sebagainya. Teori ini menjadi tema diskursus soiologi modern dan tema ini juga yang menginspirasi Max weber ketika menulis tentang nalar agama protestan sebagai penyebab yang melahirkan etos kerja masyarakat modern. Lihat ......

[5]