PENERAPAN HUKUM ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT LOMBOK ANTARA TANTANGAN
DAN PELUANG[1]
(Sebuah catatan pinggir tentang Peta Sosiologis di Gumi Sasak)
Oleh : Muhammad Zaenuri [2]
PENDAHULUAN
Abstraksi
Membahasakan hukum Islam dalam konteks sosiologis akan memberikan
pemaknaan lain dengan “bahasa” normatif, setidaknya klasfikasi Amin Abdulloh
tentang normatifitas dan historisitas menjadi pendekatan yang “mendekatkan”
proses pemahaman agama terutama dalam konteks praksis dan faktualnya[3].
Kondisi sosiologis semacam budaya, ekonomi, alam dan seterusnya memberikan
peluang “shifting paradigm” dalam hukum Islam. Shifting paradigm atau perubahan
pemikiran dan pemaknaan dalam memahami agama menjadikan wajah agama menjadi
sangat elastis. Wacana elastisitas ini menjadikan peran agama sebagai “solusi”
persoalan hidup manusia dewasa ini menjadi dirindukan. Kerinduan manusia ini
bermakna ganda bagi pemegang hak pemaknaan terhadap agama, sebutlah mereka para
ulama’, tuan guru, cendekiawan bahkan umatnya di satu sisi sebagai peluang dan
di sisi lain sebagai tantangan, dan ini apabila berbicara agama-agama yang
masuk dalam garis tipologis sebagai Missionaris Religions atau dalam bahasa
agama Islam sebagai agama dakwah. Kerinduan yang terasa mendesak karena
tuntutan berbagai macam persoalan baik paradigmatik konseptual maupun yang
praksis. Setidaknya Islam memiliki potensi eksistensial yang diharapkan dapat
menjawab itu semua. Ranah hukum menjadi dilema dan ajang pertarungan yang
“sengit” dalam proses pemaknaan ini, setidaknya banyak fakta menunjukkan hal
ini, konflik yang bahkan menjurus ke konflik fisik menyertai multi segmentasi
makna. Satu hal yang perlu dicatat sebagai “secercah terang” optimisme yaitu
semakin dewasanya pemikiran dan diskusi terus dilakukan walaupun memang dalam
beberapa kasus faktanya cukup “memprihatinkan” dan menjadi pekerjaan besar umat
ini ke depan. Semoga.....
Latar Belakang
Persoalan yang mendera umat Islam dalam
konteks “pergaulan” mereka dengan dunia kontemporer, semisal kemiskinan,
pendidikan dan krisis politik di beberapa wilayah muslim membuat “wajah”
menjadi semakin suram, apalagi ditambah dengan isu terorisme yang menjadi trend
hari ini. Tarik menarik kepentingan ekonomi kapitalis yang arah ekonomi dunia
yang dilanda resesi dan krisis. Umat Islam berada di “persimpangan” artinya
antara mengambil peran akif sebagai bagian dari penduduk dunia dalam rangka
mengentaskan berbagai persoalan yang mendera tersebut, serta di sisi lain
berusaha menjaga eksistensi keIslaman mereka tetap dapat terjaga dan memiliki
warna dalam proses “memperbaiki dunia”.
Dalam konteks kehidupan masyarakat di
Lombok, isu-isu keislaman tadi mungkin masih cukup jauh dari nalar sosial
mereka, namun berbicara konteks keIndonesiaan, terutama dalam dua sampai tiga
dekade belakangan maka akan terlihat konstelasinya begitu massif. Isu-isu
tersebut kadang-kadang tidak memberi ruang dan waktu untuk dianalisa dipelajari
atau mungkin diolah, semuanya kadang berjalan cepat dan melesat-lesat. Dalam
konteks itu penulis ingin berangkat memberikan mungkin saja semacam catatan
pinggir untuk dapat mengambil kesimpulan yang diharapkan untuk menguatkan
semacam spiritualitas, atau konstruksi sistem sosial yang kita miliki hari ini.
Masyarkat Lombok dengan namanya bumi
seribu masjid, seribu Tuan Guru, sejuta Jama’ah, atau mungkin dapat kita
labelkan lagi dengan sejuta masalah, sebagaimana juga beberapa daerah di
Indonesia, yang sedang dalam proses bergerak dan terus bergerak, proses
modernisasi yang massif di mana-mana, arus informasi yang melewati batas logika
akan membuat perubahan itu berjalan nyata dan cepat. Setidaknya walaupun
misalnya anda bukanlah seorang peneliti pasti akan melihat gejala-gejala sosial
yang andaikata anda memakai sedikit saja nalar akademik maka perubahan yang
terlihat akan membuat anda tertegun dan mungkin saja memberikan anda kekuatan
tambahan untuk melakukan semacam Social Change sebagaimana anda dulu
diamanatkan di perkuliahan. Social change atau perubahan sosial dalam arti ke
arah yang “berperadaban” (civilized society) tentu merupakan dambaan semua
kita, baik sebagai bagian dari masyarakat, atau masyarakat ilmiyyah bahkan umat
Islam yang moral agama kita memberi penekanan yang besar terhadap hukum dan
ketertataan hidup manusia.
Ketertataan dalam konteks ini adalah
terlaksananya hukum dan aturan nilai secara benar dan sadar, dalam konteks
sosiologis kemudian akan terlihat bahwa masyarakat yang menjalankan aturan akan
memiliki kesadaran yang sama tentang visi hidup bermasyarakat sebagai sebuah
tubuh dan sistem yang saling mengikat[4]
dan selanjutnya semua anggota masyarkat tersebut akan dengan sadar dan
loyalitas akan menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati bersama sebagai
wujud nyata komitmen mereka dalam bermasyarakat dan dapat juga dibahasakan
dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari warga negara .
Ketika Rasululloh SAW melanjutkan
dakwahnya di Madinah sebagai wilayah yang baru, beliau tidaklah berfikir untuk
meletakkan aturan sebagai sebuah materi hukum yang membelenggu artinya aturan
nilai yang ditawarkan adalah nilai universal (dalam konteks kesepakatan sosial
berbeda dalam konteks hukum eskatologis ketuhanan) sehingga kemudian masyakat
madinah disebut sebagai masyarakat yang
berperadaban (civilized society), karena masyarakat Madinah saat itu yang
terdiri dari berbagai golongan dan unsur sepakat untuk melakukan usaha bersama
dalam mewujudkan visi bersama masyarakat Madinah yang diikat dalam kesepakan
Madinah (Piagam Madinah)[5].
Kepemimpinan Nabi ketika di Madinah
memberikan pendidikan ketatanegaraan yang sangat berharga, dan aplikasinya
dapat dimana saja serta kapan saja, gaya serta semua komponen yang terjalin
dalam kesatuan masyarakat Madinah menjadi tipologi ideal struktur masyarakat
dalam segala masa terutama di era modernitas hari ini. Hegemoni suprastruktur
politik yang menggurita sampai ke semua dimensi, artinya hari ini di dunia
manapun walaupun kedaulatan rakyat menjadi defenisi kemerdekaan setiap bangsa
atau penjajahan fisik mungkin tidak terjadi dimana-mana sebagaimana era imprealisme
dulu namun penjajahan dalam bentuk globalisasi dan kendali ekonomi kapitalis
yang mengungkung merupakan substansi hegemoni atas pihak lain alias penjajahan
masih terus berjalan.
Indonesia sebagai negara dunia ketiga
(berkembang) dalam posisi percaturan dunia hari ini, masih dalam posisi
terhegemoni dan terikat dengan kuasa-kuasa kapitalis, kesimpulan ini mungkin
saja masih sangat berbau teori konspirasi, tetapi efeknya terlihat dalam
kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Hukum yang merupakan produk kebijakan
dan politik juga terimbas hegemoni dan ini terlihat dari beberapa produk hukum
yang merupakan “pesanan”, dan dalam bentuk lain adalah usaha yang terus
dilakukan umat Islam Indonesia untuk memiliki sebuah produk hukum yang mewakili
aspirasi dan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia namun belum terealisasi
secara maksimal, dan beberapa produk hukum yang berciri Islam masih
terkatung-katung sebagai hukum yang “ompong” karena cuma ditetapkan
keberlakuannya dengan Inpres.
Lombok dalam peta sosiologis hukum
memiliki banyak hal yang menarik untuk dikaji dan dapat menjadi semacam wahana
kajian ilmiyyah yang sangat kaya, karena sesuatu yang menarik dalam kerja
ilmiyyah adalah fakta-fakta baru, dan dalam konteks ini fenomena-fenomena unik
yang mungkin saja tidak ada di daerah lain menjadi hal yang menarik untuk
dikaji. Fokus ulasan dan kajian makalah ini adalah pada konteks soiologi hukum
yaitu fenomena penerapan hukum di masyarakat Lombok antara tantangan dan
peluang. Kajian ini merupakan bagian dari kerja ilmiyah untuk mencari
fakta-fakta yang dapat dijadikan bahan materi ilmu pengetahuan dalam ranah tema
besar sosiologi, dan harapan selanjutnya juga agar dapat menjadi bahan evaluasi
kebijakan dalam penerapan hukum, supaya hukum dapat memiliki peran sosial yang
maksimal.
Tema besar sosiologi hukum merupakan tema
kajian sosiologi yang mengaitkannya dengan hukum, yang merupakan derivasi
kajian besar sosiologi. Para pakar yang menjadi peletak dasar kajian ini
diantaranya : Roscoe Pound, Emile Durkheim, Eugene Ehrlich, Mark Weber, dan
Karl Llewellyn. Sosiologi hukum menitik beratkan kajiannnya pada hubungan
timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial serta jarak antara cita dan fakta penerapan hukum di
masyarakat. Dan dalam makalah singkat ini hal-hal tersebuat akan menjadi
tema-tema acuan yang akan memandu kajian makalah ini, harapan kami semoga
memberi sebuah jawaban dalam kajian sosiologi hukum atau paling tidak memberi
semacam data awal dalam arah kajian yang lebih serius terutama dalam tema
kajian sosiologi hukum Islam.
PEMBAHASAN
Pada diskusi sebelumnya, dari beberapa
tema yang telah dibahas oleh teman-teman di dalam diskusi kelas, kami melihat
teman-teman lebih banyak memfokuskan kajiannya pada tema-tema tradisi dan fakta
sosial masyarakat, dan masih belum begitu banyak secara spesifik menyentuh
kajian sosiologi hukum, walaupun memang tradisi terutama tradisi keagamaan
memiliki kaitan erat dengan nilai dan kebijaksanaan masyarakat yang merupakan
unsur awal pembentukan hukum, dan juga secara sosiologis, hukum merupakan
manifestasi kebijaksanaan, nilai, kepercayaan, cita dan bahkan agama sebuah
komunitas. Artinya sebuah masyarakat dapat dinilai kedalaman nilai sosialnya
dari produk hukum yang dihasilkannya. Dan kami dalam makalah ini ingin berusaha
mempertatutkan tema-tema kajian sebelumnya dengan konteks sosiologi hukum serta
tentang prospek penerapan hukum di masyarakat Lombok khususnya antara peluang
dan tantangan.
Peta sosiologis masyarakat Lombok
Secara sosiologis masyarakat Lombok
merupakan masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat agraris. Ini
kalau mlihat mayoritas penduduk yang ada di Lombok memiliki profesi sebagai
petani dan hidup di pedesaan, walaupun di beberapa kantong, terlihat gerak
perkembanga ekonomi dan modernisasi sebagaimana yang ada yng telah ada di
kota-kota di Lombok, dan kenyataannya penguasaan gerak ekonomi sebagiannya oleh
penduduk non pribumi.
Ciri agraris ini bisa bertaut dengan
kecenderungan pemikiran tradisionalis pada masyarakat Lombok, yang khas dengan
ketertuntunan nilai dan gerak lambat perubahan sosial, artinya masyarakat
Lombok memiliki karakter yang selalu bisa menjaga nilai-nilai karena gerusan
meodernisasi dalam kehidupan mereka belum sedahsyat masyarakat yang ada di
wilayah perkotaan. Tradisi agama yang selalu dijalankan menunjukkan kesetiaan
mereka pada nilai-nilai warisan serta penghargaan mereka kepada nilai agama
yang dianut dan kepada pemimpin-pemimpin spiritual keagamaan yang menjadi
manifestasi kebenaran ketuhanan.
Dalam tema-tama sosiologi, kepemimpinan
ulama’ atau tuan guru disebut kepemimpinan Kharismatik atau kepemimpinan yang
didasarkan kepada kharisma dan pesona individu pemimpinnya yang lahir akibat
proses pencapaian spiritualitas individu si pemimpin, atau warisan orang tuanya
atau juga lahir dengan sebab konstruksi
sosial setempat. Terlepas dari hal itu, melihat masyarakat Lombok hari ini dengan
kondisi sosialnya yang agraris tradisional ini memungkinkan kita meletakkan
pijakan analisa makalah ini terutama dalam konteks pelaksanaan hukum di
masyarakat.
Tema-tema sosiologi hukum
Sebelum lebih jauh melakukan pembahsan,
perlu diberikan peta awal ranah-ranah yang menjadi pembahsan spesifik dalam
kajian sosiologi hukum yang menjadi salah satu tema sosiologi, agar dapat
menjadi acuan kajian selanjutnya, di antaranya :
·
Hukum dan sistem sosial masyarakat
·
Persamaan dan perbedaan sistem-sistem
hukum
·
Sifat sistem hukum yang dualistis
·
Hukum dan kekuasaan
·
Hukum dan nilai sosial budaya
·
Peranan hukum sebagai alat perubahan
sosial
Dari tema-tema tersebut terdapat beberapa
tema yang menarik untuk diterapkan dalam melihat peta sosiologis masyarakat
Lombok terutama dalam konteks sosiologi hukum di antaranya hukum sebagai
manifestasi sistem sosial masyarakat, hukum dan kekuasaan serta peranan hukum dalam perubahan sosial,
dari hal tersebut akan memberikan peta yang lebih kongkrit tentang kajian
makalah ini, terutama dalam penerapan hukum di masyarakat dan kaitannya dengan
tema-tema sosiologi hukum tadi.
Pelaksanaan Hukum di Masyarakat Lombok
Hukum merupakan manifestasi nilai dan
cita masyarakat artinya sebuah produk hukum lahir dari aspirasi dan cita bahkan
agama sebuah komunitas, artinya ketika masyarakat didefenisikan sebagai sebuah
kelompok individu yang memiliki komitmen bersama untuk hidup berdampingan dan
meraih cita dan visi bersama, dan hukum merupakan perangkat yang diharuskan
dalam rangka menjaga komitmen tersebut, karena ketika pelaksanaan hukum
berjalan dengan baik, itu artinya komitmen setiap individunya sangat besar
terhadap visi bersama masyarakat tadi.
Di Lombok pelaksanaan hukum positif
sebagai manifestasi sistem hukum negara masih belum kuat, namun pelaksanaan
hukum adat dan nilai-nilai keagamaan masih cukup terjaga walupun dalam beberapa
hal sudah berkurang, mungkin saja proses ini dapat dibaca sebagai penggerusan
nilai akibat modernisasi, gerak ekonomi, informasi dan proses dan pendekatan
edukasi yang tidak berhasil, namun setidaknya faktanya proses tradisi ini masih
berjalan stabil, dan mungkin sebagai sebuah proses alamiah ke depan akan
mengalami fluktuasi bahkan mungkin punah.
Kesetiaan kepada nilai lokal dalam
pelaksanaan tradisi agama dan budaya setempat terjaga dengan ayoman para
pemimpin non formal kharismatik bernama tuan guru, yang selalu memberikan
kekuatan moral agama dalam ceramah dan fatwa-fatwa keagamaan yang mereka
sampaikan. Posisi politis dan kekuasaan kultural tuan guru sangat sulit
digantikan oleh kekuasaan negara dalam konteks pelaksanaan hukum positif
terutama dalam hukum perdata. Banyak contoh kasus pelaksanaan hukum positif
terabaikan dan masyarakat lebih memilih dan meyakini hukum adat atau hukum
agama, walaupun hukum posistif seperti UU no tahun 1974 atau KHI dikompilasi
melalui kajian sosial terhadap materi-materi hukum adat yang selama ini
dilaksanakan di masyarakat, namun tetap saja keberlakuannya masih sangat belum
memadai di masyarakat Lombok. Mungkin saja seandainya hukum perdata disertai
dengan sanksi dan aturan tegas bagi para
pelanggarnya maka akan dapat dijamin keterlaksanaannya secara memadai.
Modernisasi dan perubahan nilai
Setidaknya imbas modernisasi mengambil
peran yang signifikan dalam konteks perubahan nilai dan imbas yang lain juga
adalah kepada pelaksanaan hukum di tengah masyarakat. Karena sifat modernisasi
yang memberikan perubahan di semua sisi dan elastisitas dan keterbukaan
pemikiran, empirisisme dan rasionalisme sebagai panduan filosofis, membuat
masyarakat memposisikan diri lebih kritis terutama dalam pelaksanaan hukum dan
nilai agama yang cenderung dianggap kadang-kadang bertentangan dengan nilai
modernitas. Tapi setidaknya hukum positif lebih memiliki peluang untuk diikuti
sebagai hasil konfirmasi nilai modernitas yang berwujud hukum positif yang
dihasilkan dari rahim filsafat hukum modern.
Lombok dan masyarakat Lombok tergerus
juga oleh arus modernitas yang mendunia, walau yang tersisa adalah sisi
negatifnya, laju pendidikan yang kian pesat dan gerak ekonomi dan pembangunan,
media-media elektronik menjadi corong-corong modernitas yang menawarkan
kebebasan merupakan wahana yang dirindukan dalam kelompok muda walau dalam
pemaknaan yang masih sangat naif. Hal inilah yang kemudian membuat nilai dan
budaya serta di dalamnya apa yang disebut kesetiaan terhadap hukum menjadi
memuai, pelaksanaannya kemudian tidak lagi didasari rasa kesetiaan yang tulus
namun lambat laun menjadi hanya “tampakan luar” dan upaya menjaga hubungan
harmonis dalam bingkai kesatuan masyarakat.
Hukum dan perubahan sosial
Kajian-kajian sosiologi modern melihat
hukum tidak hanya sebagai alat kekuasaan negara dan manifestasinya, namun lebih
dari itu sebagai manifestasi nilai yang diyakini oleh masyarakat serta menjadi
peluang yang besar untuk melakukan perubahan sosial dan perubahan masyarakat ke
arah yang lebih baik. Contoh yang memadai tentang hal ini bagaimana misalnya
hukum ekonomi memberikan peranan pola baru ekonomi dunia dan berimbas pada
karakter masyarakat dalam memandang nilai dan budayanya.
Harapan awal pembentukan hukum di
Indonesia juga adalah perubahan sosial masyarakat akibat pelaksanaan hukum ini,
namun fakta yang terlihat terutaa dalam masyarakat Lombok belumlah terlaksana
secara memadai dan maksimal, karena masyarakat Lombok lebih memberi ruang yang
luas dalam keberlakuan hukum adat dan hukum nonformal yang terasa lebih memberi
nilai keadilan dan kebenaran ketimbang hukum negara atau hukum positif.
Politik dan politisasi wajah kita semua
Proses reformasi yang ditandai dengan
jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998 dan berlanjut pada reformulasi semua
kaidah dan tata aturan sistem terutama dalam konteks politik dan demokrasi
sebagai fondasi meniscayakan semua proses dilakukan dengan suara terbanyak. Dan
belum lagi isu Hak Asasi Manusia yang menjadi trend kemandulan aturan hukum di
beberapa bagian artinya pelaksanaan hukuman dulu secara adat banyak terbatasi
dengan isu dan pemaknaan yang belum sempurna tentang HAM, yang memang
seharusnya memang berjalan sinergis dan linier.
Pemilihan-pemilihan baik kepala negara,
daerah bahkan sampai ke tingkat yang paling rendah yaitu pemilihan kadus
misalnya telah menjadikan karakter masyarakat yang hipokrit dan hedonis, belum
lagi pendekatan yang belum dewasa dalam berpolitik membuat penyakit akut yang
bernama proses “curang” money politik menjadi darah daging. Tidak ada yang tidak terlibat, bahkan proses
pemilihan ini disebut dalam idiom kita sebagai pesta rakyat atau pesta
demokrasi, entahlah lantas pemaknaannya menjadi pesta yang menjadi awal
pembunuhan karakter masyarakat dan menjadi asal-usul penyakit dlam sistem
bernegara dan bermasyarakat. Yang sangat parah ketika yang melakukannya adalah
mereka yang selama ini menjadi “plipurlara” spiritualitas keagamaan masyarakat
yang bernama tuanguru dan ulama. Penulis merasa wilayah politik praktis belum menjadi rumah yang
ramah untuk mereka walaupun perintah agama untuk mewujudkan kemaslahatan kepada
banyak orang, namun pilihan untuk ikut bermain dalm dunia politik menjadi
pilihan yang sering salah, walaupun tidak menutup kemungkinan seandainya ada
dari kalangan mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk ikut terlibat.
Gerusan proses politik menjadi alat
pendidikan yang efektif kepada masyarakat untuk megurangi rasa kepercayaannya
kepada peran-peran sosial pemerintah dan tokoh-tokoh lainnya, dan berimbas pada
krisis dalam pelaksanaan hukum.
Tokoh agama dalam peran
Kekuatan informal dan kultural tokoh
agama di Lombok belum tertandingi kuasa politik pemegang kekuasaan. Setidaknya
ini masih berjalan baik hingga saat ini, dan ini merupakan potensi besar untuk
menjadikan para tokoh agama tersebut sebagai agen perubahan yang evolusioner
dalm konteks perubahan sosial yang dipegang oelh agama dengan tokoh-tokohnya.
Sebut saja masyarakat Jepang yang maju dan berkembang pesat ditopang oleh
filosofi hidup agamanya, inilah yang belum terlihat jelas ketika berbicara
peran para tokoh agama di masyarakat.
Tokoh Masyarakat juga harus memiliki
sense dan bekal keilmuan yang memadai dalam melihat laju gerak masyarakat, buka
untuk mengikuti, namun untuk melakukan upaya pengendalian dan rekayasa yang
baik menuju masyarakat yang maju namun memiliki karakter yang sehat dan lurus.
Gerusan politik dan ketidaksiapan para
tokoh agama saat ini membuat masyarakat sering kehilangan rujukan dalam melakukan
semua proses kehidupannya, akhirnya kekuatan kultural ini seringkali malah
kehilangan daya saktinya dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang
terjadi. Masyarakat merindukan karakter lurus dan jujur dari individu tokoh
agama ini agara dapat menjadi harapan baru mereka dalam melihat kenyataan
sosial yang sering tidak berkeadilan.
Kesimpulan dan Saran
Dari uraian dan kajian yang telah
dilakukan penulis tentang pelaksanaan hukum di masyarakat Lombok, terdapat
beberapa hal yang perlu dijadikan catatan:
1. Pelaksanaan hukum di masyarakat Lombok masih didominasi hukum adat dan
hukum informal, karena hukum negara belum memberikan rasa keadilan dan
kebenaran yang diharapkan oelh masyarakat.
2. Peran hukum dalam perubahan sosial sangat besar, untuk itu, usaha
pelaksanaan hukum yang baik di masyarakat harus ditingkatkan agar proses
perubahan sosial dapat diarahkan kepada hal yang lebih baik.
3. Peran sosial tokoh agama memiliki peran signifikan di masyarakat Lombok
setidaknya hingga hari ini, namun dapat tergrus dan bahkan hilang kalau tokoh
agama ini tidak memberikan jawaban terhadap harapan masyarakat, yaitu sebagai
rujukan yang benar tentang moral dan hukum.
Demikianlah kajian ini, dan kami mengakui
ini mungkin belum dapat disebut sebagai tulisan ilmiyah murni, karena tulisan
ini dalam beberapa bagian, tidaklah mengikuti prosedur penulisan karya ilmiah,
namun kami berharap tulisan ini dapat menjadi pemicu kajian-kajian yang lebih
serius selanjutnya. Atas semua perhatian kami ucapkan banyak terimakasih.
Wallohu waliyyuttaufiq....
[1] Makalah ini
disampaikan dalam diskusi kelas, untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sosiologi Hukum Islam” semester 3,
Program Pasca sarjana IAIN Mataram, Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum
Kelurga Islam), dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Miftahul Huda, Pada hari jum’at
tanggal 28 Desember 2012
[2] Penulis
merupakan mahasiswa semester 3, Program Pasca sarjana IAIN Mataram, Prodi
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Kelurga Islam).
[3] Historisitas
dn norematifitas dikatakan seperti dua sisi mata uang dalam pendekatan studi
agama dalam konteks ini agama Islam lebih khusus lagi konteks hukumnya,
normatifitas menekankan pada makna teks dan semua alur pemaknaan yang baku
sesuai petunjuk “otoritatif” agama, sedangkan historisitas lebih melihat bahwa
antara agama dan keberagamaan serta pemahaman terhadap agama adalah sisi yang
berbeda, dari segi historisitas, agama akan mengalami proses “dibumikan” atau
“dimanusiakan” dalam pemaknaan bahwa manusia merupakan pelaksana atau subyek
pelaksanaan agama ini adalah makhluk yang memiliki akal dan sejarah, dalam dua
poros tersebut agama akan mengalami pemaknaan dan praktik yang akan sangat
selalu terikat dengan tarik menarik dengan sisi normatif dan fakta historis
sosiologis yang mengitarinya. Pendekatan ini memungkinkan sebuah peluang
mamaknai agama sebagai sebuah solusi budaya dan peradaban manusia terutama
dalam alam globalisasi seperti sekarang ini. Tentang hal ini lihat Amin
Abdullah
[4] Teori tentang
sistem, kontrak sosial meniscayakan bahwa setiap individu dalam setiap kelompok
masyarakat akan berjalan dalam sebuah kontrak tidak tertulis untuk menjalankan
visi dan cita-cita bersama dalam mencapainya maka ketundukan terhadap aturan
ukum dan nilai akan selalu menjadi ruh tingkah lakua setiap individu
masyarakatnya. Dalam masyarakat modern kemudian hal ini dapat diwujudkan dengan
salah satunya adalah penguatan hukum (law inforsement) di tengah-tengah
masyarakat, dalam banyak hal kendali hukum kan menjaga stabilitas yang lain
semacam budaya, ekonomi dan sebagainya. Teori ini menjadi tema diskursus
soiologi modern dan tema ini juga yang menginspirasi Max weber ketika menulis
tentang nalar agama protestan sebagai penyebab yang melahirkan etos kerja
masyarakat modern. Lihat ......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar