Oleh : Akmaludin Sya’bani
A. Pendahuluan
Puasa Ramadhan adalah salah satu
bentuk syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammdad saw. Syari’at ini
mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah bulan puasa sebulan lamanya,
yaitu pada bulan Ramadhan. Pensyari’tan ibadah puasa kepada kaum muslimin ini
merupakan salah satu cara Allah untuk menguji hamba-Nya, sejauh mana tingkat
keimanan yang dimiliki oleh setiap hambanya, dan dengan puasa ini Allah
berharap agar seorang muslim mampu meraih derajat tertinggi dari seorang yang
beriman, yaitu derajat ketakwaan.
Dalam surat al-Baqarah ayat 183,
Allah berfirman :
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs?
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”.[1])
Ayat 183 surat al-Baqarah inil
menjadi salah satu dasar hukum bahwa Allah telah mensyariatkan kewajiban
berpuasa pada bulan Ramadhan kepada umat Islam sebagaimana Allah mensyariatkan
kewajiban berpuasa ini juga kepada umat-umat sebelum datangnya Islam.
Hanya saja dalam tataran
aplikatif, masyarakat muslim mempunyai apresiasi dan ekspresi yang berbeda-beda
terhadap syari’at yang satu ini. Apresiasi dan ekspresi yang dimaksudkan adalah
cara masyarakat muslim menerima, menyambut, memeriahkan dan mengaplikasikan
ibadah ini berbeda-beda, mengikuti kultur yang ada di setiap masyarakat yang
ada. Misalnya masyarakat muslim Jawa dengan masyarakat muslim lombok atau yang
lainnya tentu memiliki teradisi atau kultur yang berbeda dalam ekspresi
keagamaan mereka terhadap bulan Ramadhan ini. Atau dalam sekala yang lebih
kecil, msyarakat muslim lombok timur dengan masyarakat muslim lombok tengah
atau lombok barat, juga tentu memiliki penghayatan dan ekspresi yang berbeda
dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan ini.
Dari dasar itulah, makalah ini
akan mencoba membahas persentuhan Islam dengan budaya lokal yang terdapat dalam
masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru, Kabupaten Lombok Timur, dalam perayaan
atau vestifal Ramadhan. Yang menurut penulis, ada beberapa model persentuhan
yang kemudian melahirkan kultur atau teradisi bulan Ramadhan pada masyarakat
Nibas, yaitu; pertama, teradisi Bersin Puasa. Kedua,teradisi
Roah. Ketiga, teradisi Bederus. Keempat, teradisi Mal-Mal. Dan kelima,
teradisi Takbiran.
B. Pembahasan
1.
Bersin Puasa
Dalam menyambut datangnya bulan
Ramadhan atau puasa, sudah menjadi teradisi sebagian masyarakat sasak untuk
melakukan penyucian atau pembersihan diri atau dalam istilah mereka adalah “bersin
puase”. Ritual bersin puase ini biasanya dilakukan oleh masyarakat mulai
dari seminggu sebelum datangnya puasa sampai dengan sehari menjelang berpuasa,
namun kebiasaan ini lebih banyak dilakukan sehari menjelang datangnya bulan
Ramadhan. Masyarakat biasanya mendatangi
berbagai tempat pariwisata hususnya tempat pemandian, seperti, pantai, air
terjun, kolam-kolam, dan lain sebagainya. Ritual ini dilakukan tiada lain
dengan tujuan untuk membersihkan diri
dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Aq. Sumarni[2])
salah seorang sepuh masyarakat Nibas Masbagik, Bahwa “Teradisi bersin puase
sudah lama ada dan diperaktikan oleh masyarakat, saya juga tidak tau dari mana
datangnya teradisi ini, namun waktu kami masih muda teradisi ini sudah ada,
kalau dulu dengan minimnya kendaraan maka kami hanya bisa melakukan bersin
puasa pada tempat pemandian yang dekat saja, misalnya kalo di sini itu, Pancor
Kopong.[3])
Berbeda dengan sekarang, orang tidak lagi hanya datang ke pancor kopong,
melainkan mereka lebih memilih untuk pergi ketempat yang lebih jauh dan lebih
Indah dengan fasilitas kendaraan yang sangat memadai saat ini. Masyarakat
melakukan teradisi bersin puase ini, dengan tujuan agar mereka lebih siap, dan
merasa lebih bersih begitu datangnya bulan puasa, makanya ritual yang ada dalam
teradisi ini adalah orang-orang harus mandi entah itu di pantai atau di tempat
pemandian lainnya, untuk membersihkan dirinya agar ia merasa lebih siap dan
bersih menyambut dan menjalakan ibadah puasa”.[4])
Berbeda
dengan apa yang dikatakan Aq. Sumarni, Khaeril Anwar mengatakan bahwa dia
melakukan teradisi bersin puase ini, semata-mata ikut teradisi yang telah lama
ada dalam masyarakat, ia mengakui bahwa ia tidak tau pasti sejarah dan makna
filosofis yang terkandung dalam teradisi ini, hanya saja ia mengatakan, “kalau
dilihat dari istilahnya saja, maka bersin puasa yang dilakukan oleh masyarakat,
baik dari kalangan muda ataupun tua mungkin tidak lain hanya bertujuan untuk
membersihkan diri sebelum datangnya puasa, walaupun sebenarnya apa yang
dilakukan masyarakat dalam ritual bersin puasa ini sebenarnya kalau saya lihat tidak
ada anjuran sama sekali dalam agama, apalagi dalam teradisi ini, sering saya
lihat hal-hal yang tidak dibenarkan dalam agama, misalnya seperti anak muda yang pergi berdua-duaan dengan
pacarnya. Walapun demikian ketika mereka ditanya mau ke mana? Pasti mereka akan
menjawab “te lalo bersin puase juluk” (kami mau pergi bersin
puasa dulu)”.[5])
2.
Roah
Salah
satu teradisi masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru dalam menyambut datangnya
puasa Ramadhan adalah Roah atau syukuran. Biasanya roah ini dilakukan sehari
menjelang datangnya puasa Ramadhan. Hanya saja teradisi ini hanya dilakukan
oleh orang-orang tertentu terutama oleh orang yang mapan secara ekonomi, dan
teradisi roah menjelang puasa ini tidak mutlak dilakukan setiap tahunnya,
dengan artian terkadang ia dilakukan dan terkadang pula ia juga tidak
dilakukan.
Terkait
dengan teradisi roah ini, Abu Rohan mengatakan, “Sebenarnya teradisi roah
menjelang puasa ini dilakukan atas dasar keyakinan dan pemahaman masyarakat
terhadap salah satu hadis Rasulullah yang mengatakan “Barang siapa yang senang
dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya untuk
masuk ke dalam api Neraka”. Hadis inilah yang menjadi dasar kenapa masyarakat
terkadang melakukan roah atau syukuran menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Roah inilah yang menjadi wujud atau rasa kegembiraan orang yang melakukannya
dengan harapan Allah akan mengharamkan jasadnya masuk ke dalam Neraka, dan
puasa yang akan dijalankannya akan lebih barakah, dan mendapatkan nilai pahala
yang berlipat ganda”.[6])
Hal
senada juga diungkapkan H. Alwan Wijaya, bahwa “Roah yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat desa ini, merupakan ekspresi dan wujud kegembiraan mereka
atas datangnya bulan suci Ramadhan, masyarakat meyakini bahwa bulan Ramahdan
adalah bulan yang istimewa, bulan penuh berkah, dan bulan di mana pahala
dilipat gandakan. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi masyarakat untuk
menyambut kedatangan bulan ini melakukan syukuran atau roah. Dengan acara roah
ini, masyarakat berharap agar puasa yang akan dilakukannya lebih berkah dan
bisa lebih baek dari puasa sebelumnya”.[7])
Berdasarkan
hasil pengamatan penulis terhadap teradisi masyarakat yang satu ini, dari puasa
tahun ini dan puasa tahun sebelumnya, dua tahun berturut-turut, penulis tidak
melihat masyarakat Nibas melakukan teradisi ini lagi. Menurut Abu Rohan, hal
ini mungkin dikarenakan tingkat kesibukan masyarakat yang semakin tinggi, atau
mungkin juga dikarenakan kesedaran masyarakat terutama masyarakat dengan
tingkat ekonomi yang memadai berkurang terhadap nilai-nilai dan teradisi
masyarakat yang ada. Begitupun yang diungkapkan oleh H. Alwan Wijaya, hanya
saja menurut beliau, hal ini juga diakibatkan oleh pergesaran nilai dan budaya
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, masyarakat yang dulunya memegang kuat
teradisi yang ada, kini sudah mulai untuk susah ditemui, dikarenakan oleh pengaruh
budaya luar terutama yang masuk melalui media masa seperti televisi.
3.
Bederus
Salah
satu bentuk teradisi keagamaan masyarakat Nibas dalam vestifal Ramadhan adalah
apa yang disebut masyarakat dengan istilah “bederus” atau dalam istilah
yang lebih dimengeti yaitu tadarusan. Bederus atau tadarusan yaitu teradisi
baca al-Qur’an yang dilakukan oleh masyarakat di setiap mushalla dan masjid
yang ada di desa. Yang menarik dari teradisi ini adalah ia dilakukan mulai dari
habis tarawih sampai menjelang waktu sahur tiba. Biasanya orang yang melakukan
tadarusan sampai menjelang sahur langsung bertugas menjadi orang yang
membangunkan masyarakat untuk menunaikan ibadah sunah sahur. Selain itu,
teradisi ini juga penuh dengan nilai kultural, di mana masyarakat
terutama kaum ibu seakan punya kewajiban untuk memberikan makanan atau sangu
bederus dalam istilah masyarakatnya, bagi orang-orang yang melakukan
tadurasan baik di masjid maupun di mushalla. Teradisi nganter makanan (naekang)
kepada orang-orang yang bederus seakan diatur sedemikian rupa, sehingga setiap
malamnya, jama’ah ibu-ibu punya giliran masing-masing untuk nganter makanan.
Padahal sepengetahuan penulis, aturan seperti ini tidak ada kesepakatan awal
misalnya dari pengurus masjid, namun seakan masyarakat terutama jamaah ibu-ibu
seakan punya aturan tersendiri tentang hal ini, sehingga ibu-ibu tidak harus
setiap malamnya mengantarkan jamaah tadarusan, namun harus menunggu sampai
giliran nganter atau naekang-nya datang.
Menurut Bapak Tin, salah seorang warga yang sepengetahuan
penulis tidak pernah alfa atau absen di masjid untuk tadarusan, ia mengatakan “Bederus
adalah salah satu teradisi masyarakat yang harus dipertahankan dan tidak boleh
hilang di tengah-tengah masyarakat, karna ia merupakan perintah Nabi, di mana
umat Islam diperintahkan untuk memperbanyak ibadah, salah satunya adalah ibadah
membaca al-Qur’an”. Di samping itu, dia juga melihat bahwa teradisi
bederus ini sangat bagus untuk mendidik generasi muda dan anak-anak, karna tak
jarang anak-anak muda dan anak-anak juga ikut meramaikan masjid dalam rangka
bedurus ini. Karena saat ini, anak-anak sudah semakin jauh dengan ajaran
agamanya dan semakin jarang anak-anak yang suka mengaji, tetapi dengan adanya bederus
ini, Alhamdulillah ada masih sebagian anak muda dan anak-anak yang juga rajin ikut bersama kami untuk
bederus dan meramaikan masjid, bahkan sampai menjelang orang melaksanak ibadah
sunnah sahur.[8])
Berbeda
dengan Bapak Tin, Murzani, takmir masjid Nurul Yaqin Nibas, yang memandang
teradisi bederus ini hanya sebagai sunnah Rasul, dan perintah agama,
serta salah satu cara untuk menghidupkan bulan suci Ramadhan. Sedangkan Sahudi,
salah seorang pengurus masjid dan panti asuhan Nurul Yaqin Nibas mengatakan, “bederus
merupakan perintah Rasul untuk menghidupkan malam di bulan puasa, dengan
bederus inilah kita bisa merasakan bahwa kita berada di bulan puasa, kita bisa
bandingkan bagaimana ketika bulan puasa dengan bulan setelahnya, di mana masjid
dan musolla sepi, kalau seandainya kita memperlakukan bulan puasa sama seperti
bulan-bulan lainnya, maka masyarakat tidak akan merasakan bahwa dia berada di
bulan puasa, bederus inilah salah satu pembeda antara bulan puasa dengan
bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itu, sampai kapanpun bederus ini harus tetap
dilakukan, dan agar bederus ini tetap bertahan anak-anak juga harus mulai
dididik dari sekarang dan diajak untuk ikut bederus.[9])
Yang
menarik lainnya adalah, apa yang diungkapkan oleh anak-anak yang suka ikut
teradisi bederus ini, bagi mereka teradisi dijadikan sebagai sarana uji mental
dan uji kemampuan sejauh mana kepintaran mereka dalam membaca al-Qur’an, selain
itu ada juga yang melakukan teradisi ini karena perintah orang tua, dan juga
sebagian besar mengakui bahwa mereka melakukan teradisi bederus ini untuk
memperoleh makanan yang diantarkan oleh jama’ah ibu-ibu. Oleh karena itu, yang
terjadi adalah, setelah istirahat sejenak untuk menerima hidangan yang ada,
anak-anak biasanya sehabis makan langsung pergi, tanpa harus mengikuti
tadarusan lagi.[10])
4.
Mal-Mal
Teradisi
masyarakat Nibas lainnya adalah mal-mal-an, teradisi ini adalah
teradisi bakar dile jojor pada malem ke-27 bulan Ramadhan, teradisi ini
dilakukan oleh setiap individu di rumah mereka masing-masing, dile jojor
ditaruh di halaman dan setiap pojok rumah dan kalau bisa dile jojor
harus dipasang sebanyak mungkin di sekitaran rumah dan biasanya dilakuakn
setelah berbuka puasa sampai menjelang datangnya waktu shalat isya. Dile
jojor sendiri adalah sebuah benda yang dibentuk seperti sate kelapa
yang bahan dasarnya dibuat dari buah jamplong (orang sini menyebutnya), biasanya
banyak dijual di pasar-pasar teradisional mulai dari 10 hari menjelang lebaran
sampai berakhirnya teradisi mal-mal.
Teradisi
mal-mal atau bakar dile jojor ini biasanya banyak dilakukan oleh
kalangan anak-anak, walaupun tak jarang juga orang tua ikut melakukannya. Dalam
perkembangannya saat ini, masyarakat tidak hanya menyalakan dile jojor
melainkan juga menyalakan obor dan lilin yang nyalanya jauh lebih awet dari
sekedar dile jojor yang nyalanya tidak bertahan lama.
Menurut
Abu Rohan, teradisi mal-mal ini sudah ada sejak lama, semenjak beliau
kecil teradisi sudah ada, hanya saja ketika penulis menanyakan istilah mal-mal
ini dari mana dan maknanya apa, beliau tidak bisa memberikan jawabannya yang
pasti, beliau hanya mengatakan kalau mal-mal-lan ini adalah bentuk
apresiasi masyarakat terhadap malam lailatul qadari yang diyakini turun
ketika malam ke-27 bulan puasa, teradisi membakar dile jojori adalah cara
masyarakat untuk mencari berkah di malam itu, masyarakat berharap rumah-rumah
yang dihiasi dile jojor mendapat berkah para malaikat yang turun pada
malam lailatul qadar.
Apa
yang diungkapkan oleh Abu Rohan juga diamini oleh H. Alwan Wijaya yang memandang
bahwa teradisi ini merupakan cara masyarakat untuk mencari berkah pada malam di
mana mereka meyakini lailatul qadar turun, rumah-rumah mereka diberkahi
dan dilindungi dari segala macam bencana, termasuk dari orang-orang yang masuk
ke dalam rumah itu dengan niatan jahat atau tidak baik.
5.
Takbiran (Kebir)
Terakhir
adalah teradisi takbiran yang
dilakukan pada malam akhir bulan puasa atau pada malam lebaran idul fitri.
Takbiran yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adalah dalam bentuk lomba
antar desa, tidak hanya melibatkan desa Nibas saja, namun juga melibatkan
desa-desa lainnya, seperti desa Tanak Maik, Orong Geres, Pancor Kopong, dan
Kebon Dasan. Teradisi takbiran ini pasti dilakukan pada setiap tahunnya,
sebagai apresiasi dan rasa syukur masyakat terhadap datangnya hari raya yang
dinanti-nanti.
Tiap-tiap
desa biasanya mempunyai perwakilan satu sampe dua perwakilan untuk mengikuti
lomba takbiran ini. Tiap-tiap peserta lomba diwajibkan membawa obor dan
menghiasi atribut mereka sebagus dan seindah mungkin karena menjadi salah satu
aspek penilain dewan juri. Lomba takbiran ini, star atau di mulai setelah
shalat isya sampai dengan selesai yaitu sampai dengan acara pembagian hadiah.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Kepala Desa Masbagik Utara Baru, Khaerul Ikhsan, teradisi
takbiran yang dilakukan oleh masyarakat pada tiap tahunnya harus tetap
dilestarikan, di samping menjadi sarana memperkuat integritas masyakat desa dan
melihat tingkat partisipasi dan apresiasi masyarakay terhadap program-program
desa, juga sebagai cara mempertahankan nilai-nilai keagamaan masyarakat dan
penanaman kesadaran beragama terutama bagi generasi muda dan anak-anak.[11])
C. Analisis
Apa yang dilakukan masyarakat
hususnya masyarakat Nibas, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, menurut
penulis bukanlah sekedar teradisi atau kebiasaan tanpa nilai dan dasar,
teradisi-teradisi itu merupakan refleksi masyarakat terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran agama Islam. Masyarakat mempunyai cara, apresiasi, dan
ekspresi tersendiri terhadap nilai-nilai agama, dalam hal ini adalah nilai yang
terkandung dalam kewajiban puasa Ramadhan. Dari penghayatan dan apresiasi
masyarakat ini terhadap ajaran agama inilah yang kemudian memunculkan teradisi
di dalam masyarakat itu sendiri.
Misalnya teradisi roah
yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan
merupakan refleksi dan ekspresi masyarakat terhadap salah satu hadi Rasulullah
yang mengatakan;
مَنْ
فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Barangsiapa
senang dengan masuknya (datangnya) bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan
jasadnya bagi neraka.”[12])
Dari dasar inilah kemudian
masyarakat membuat salah satu teradisi “roah” sebagai salah satu wujud
kegembiraan mereka terhadap datangnya bulan suci Ramadhan. Dengan teradisi
seperti ini, masyrakat berharap mereka termasuk orang-orang yang berbahagia dan
bergembira dengan datangnya puasa Ramadhan, dan dengan teradisi ini mereka
berharap puasa yang akan dilakukannya sebulan penuh akan mendapatkah berkah dan
pahala yang berlipat dari Allah swt.
Contoh lainya adalah teradisi mal-mal
yang merupakan refleksi terhadap ajaran Islam yang mengajarkan tentang adanya
satu malam yang lebih baik dari seribu bulan atau yang dikenal dengan istilah
malam lailatul qadar. Menurut keterangan hadis, bahwa malam ini datang
pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan terdapat pada malam-malam ganjil
mulai dari malam ke-21 sampai dengan malam ke-29. Namun menurut beberapa ulama’
ada yang mengatakan bahwa malam ini turun pada malam ke-27 bulan Ramadhan. Oleh
dasar inilah kemudian masyarakat membuat salah satu teradisi yang disebut
dengan teradisi mal-mal, yaitu teradisi membakar dile jojor
disekitaran halaman rumah pada malam ke-27 bulan Ramadhan mulai dari habis
berbuka puasa sampai menjelang shalat isya. Dengan teradisi ini, masyarakat
berharap rumah-rumah mereka mendapatkan berkah malam lailatul qadar yang
dibawa turun oleh para malaikat.
Sebagaimana firman Allah yang
mengatakan;
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ !$tBur y71u÷r& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ ä's#øs9 Íôs)ø9$# ×öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky ÇÌÈ ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkÏù ÈbøÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB Ìôfxÿø9$# ÇÎÈ
“Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu Apakah malam
kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”.[13])
Begitu pula dengan teradisi bederus
dan takbiran (kebir), merupakan refleksi dan ekpresi
pemahaman masyarakat terhadap ajaran yang terkandung di dalam ibadah puasa
Ramadhan. Di mana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memperbanyak ibadah
salah satunya adalah ibadah baca al-Qur’an. Allah dan Rasul-Nya menjajikan
bahwa pahala orang yang membaca satu huruf dari al-Qur’an pada bulan Ramadhan
akan diberikan ganjaran sepuluh kali lipat. Oleh sebab itulah, masyarakat
berlomba-lomba menghidupkan malam bulan Ramadhan ini dengan teradisi bederus
atau tadarusan dengan harapan apa yang mereka lakukan menjadi amal ibadah
mereka yang akan dibalas dengan ganjaran pahala yang berlipat-lipat oleh Allah
swt.
Dari beberapa teradisi masyarakat
Nibas di atas, penulis tidak mendapatkan atau menemukan dasar dari teradisi bersin
puase yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang ada. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh beberapa informan di atas, bahwa teradisi bersin puasa ini
memang telah ada, namun mereka tidak mengetahui dari mana datangnya teradisi
ini. Namun menurut penulis sendiri ini juga merupakan repleksi masyarakat
terhadap ajaran agama, di mana dalam menyambut datangnya bulan puasa kaum
muslimin harus benar-benar siap baik secara mental, sepiritual, dan moral.
Kesiapan ini hanya bisa diwujudkan setelah kaum muslimin bisa membersihkan
diri dan hati sebelum datangnya
Ramadhan, sehingga puasa yang dilakukan, dijalankan dengan penuh keikhlasan dan
rasa harap kepada Allah (ihtisiban). Mungkin atas dasar inilah muncul
teradisi bersin puase yang dilakukan masyarakat, walaupun apa yang
dilakukan masyarakat dalam teradisi ini bukan membersihkan diri, namun justru mengotori diri dengan
perbuatan-perbuatan yang sebenarnya jauh dari ajaran Islam.
D.
Kesimpulan
Persentuhan Islam dengan budaya
lokal masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru, kabupaten Lombok Timur dalam
vestifal Ramadhan pada dasarnya merupakan repleksi dan apresiasi masyarakat
terhadap pemahaman mereka tentang ibadah puasa Ramadhan itu sendiri. Dari
sinilah kemudian muncul berbagai macam bentuk kultur atau teradisi lokal masyarakat
Nibas dalam perayaan atau pelaksanaan ibadah suci Ramadhan ini. Seperti
teradisi bersin puasa, roah, mal-mal, bederus, dan takbiran atau kebir.
Teradisi-teradisi masyarakat
dalam pelaksanan Ibadah puasa ini menurut penulis harus dilestarikan dan dijaga,
selain sebagai identitas masyarakat juga menjadi sarana mempertahankan dan
mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama dalam bingkai teradisi lokal
masyarakat, selama ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.
[1] Q.S. Al-Baqarah : 183.
[2] Aq
Sumarni merupakan warga desa Nibas Masbagik Utara Baru yang berusia sekitar 65 tahun, walaupun ia
bukan tokoh Agama, Masyarakat, ataupun Adat, tapi ia merupakan salah seorang
yang dihormati dan dituakan di tengah-tengah masyarakat desa.
[3] Pancor
Kopong merupakan salah satu tempat pariwisata berupa air terjun yang dijadikan
sumber mata air bagi masyarakat sekitar, bahkan oleh pemerintah kabupaten
Lombok Timur. Ia terdapat di daerah
Masbagik Utara Baru, letaknya tidak jauh dari desa Nibas, bisa ditempuh dengan
jalan kaki.
[4] Wawancara dengan Aq. Sumarni pada hari Sabtu,
tanggal 24 November 2012.
[5]
Wawancara dengan Khaeril Anwar, salah seorang pemuda Nibas, yang saat ini
menjabat sebagai Kapala Urusan Umum Desa Masbagik Utara Baru. Menurut
pengakuannya ia juga sering bahkan hampir setiap tahunnya pergi melakukan apa
yag disebut oleh masyarakat ini dengan istilah “bersin puase”. Sabtu, 24
November 2012.
[6] Wawancara
dengan Abu Rohan, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama
masyarakat Nibas, Mabagik Utara Baru, yang saat ini berusia hampir 80 tahun. Ahad,
25 November 2012.
[7] Wawancara
dengan H. Alwan Wijaya pada hari Ahad, 25 November 2012. Beliau adalah salah
seorang tokoh agama dan juga masyarakat, sama seperti Abu Rohan, yang saat ini
berusia 73 tahun.
[8] Wawancara
dengan Bapak Tin, salah seorang warga Nibas, walaupun dia bukan tokoh
masyarakat dan agama, tapi sangat dihormati oleh masyarakat Nibas, karena
beliau sering ditugaskan untuk menjadi bilal baik dalam solat jum’at maupun
solat hari raya idul fitri dan idul adha, selain itu beliau juga adalah orang
yang dipercaya masyarakat dalam urusan sembelih-menyembelih kambing dan sapi. Ahad, 25
November 2012.
[10] Wawancara
dengan Wahyu (kls 3 SMP), Haekal (Kls 1 SMP), Radit (kls 1 SMP), Zamroni (kls 6
SD), dan Adin (kls 6 SD), mereka adalah sebagian anak-anak yang suka ikut
meramaikan masjid dalam rangkan menghidupkan malam puasa dengan teradisi
bederus. Ahad, 25
November 2012.
[11] Wawancara dengan kepala desa Masbagik Utara
Baru (Khaerul Ikhsan). Ahad, 25 November 2012, di rumah kediaman beliau di
Dusun Jagal, Nibas.
[12] Walaupun
hadis ini dianggap hadis palsu (maudhu’), namun hadis ini sudah menjadi
salah satu hadis masyhur di tengah-tengah masyarakat, banyaknya para da’i dan
ust yang menggunakan hadis ini dalam ceramah-ceramah menyambut datangnya
Ramadhan sehingga ia menjadi pemahaman yang mengakar di tengah-tengah
masyarakat.
[13] Q.S.
al-Qadr : 1-5.