Kamis, 27 Desember 2012

PERSENTUHAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT NIBAS, MASBAGIK UTARA BARU, LOTIM DALAM VESTIFAL RAMADHAN



Oleh : Akmaludin Sya’bani
A.  Pendahuluan
Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammdad saw. Syari’at ini mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah bulan puasa sebulan lamanya, yaitu pada bulan Ramadhan. Pensyari’tan ibadah puasa kepada kaum muslimin ini merupakan salah satu cara Allah untuk menguji hamba-Nya, sejauh mana tingkat keimanan yang dimiliki oleh setiap hambanya, dan dengan puasa ini Allah berharap agar seorang muslim mampu meraih derajat tertinggi dari seorang yang beriman, yaitu derajat ketakwaan.
Dalam surat al-Baqarah ayat 183, Allah berfirman :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? 
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.[1])
Ayat 183 surat al-Baqarah inil menjadi salah satu dasar hukum bahwa Allah telah mensyariatkan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan kepada umat Islam sebagaimana Allah mensyariatkan kewajiban berpuasa ini juga kepada umat-umat sebelum datangnya Islam.
Hanya saja dalam tataran aplikatif, masyarakat muslim mempunyai apresiasi dan ekspresi yang berbeda-beda terhadap syari’at yang satu ini. Apresiasi dan ekspresi yang dimaksudkan adalah cara masyarakat muslim menerima, menyambut, memeriahkan dan mengaplikasikan ibadah ini berbeda-beda, mengikuti kultur yang ada di setiap masyarakat yang ada. Misalnya masyarakat muslim Jawa dengan masyarakat muslim lombok atau yang lainnya tentu memiliki teradisi atau kultur yang berbeda dalam ekspresi keagamaan mereka terhadap bulan Ramadhan ini. Atau dalam sekala yang lebih kecil, msyarakat muslim lombok timur dengan masyarakat muslim lombok tengah atau lombok barat, juga tentu memiliki penghayatan dan ekspresi yang berbeda dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan ini.
Dari dasar itulah, makalah ini akan mencoba membahas persentuhan Islam dengan budaya lokal yang terdapat dalam masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru, Kabupaten Lombok Timur, dalam perayaan atau vestifal Ramadhan. Yang menurut penulis, ada beberapa model persentuhan yang kemudian melahirkan kultur atau teradisi bulan Ramadhan pada masyarakat Nibas, yaitu; pertama, teradisi Bersin Puasa. Kedua,teradisi Roah. Ketiga, teradisi Bederus. Keempat, teradisi Mal-Mal. Dan kelima, teradisi Takbiran.
B.  Pembahasan
1.      Bersin Puasa
Dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan atau puasa, sudah menjadi teradisi sebagian masyarakat sasak untuk melakukan penyucian atau pembersihan diri atau dalam istilah mereka adalah “bersin puase”. Ritual bersin puase ini biasanya dilakukan oleh masyarakat mulai dari seminggu sebelum datangnya puasa sampai dengan sehari menjelang berpuasa, namun kebiasaan ini lebih banyak dilakukan sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan.  Masyarakat biasanya mendatangi berbagai tempat pariwisata hususnya tempat pemandian, seperti, pantai, air terjun, kolam-kolam, dan lain sebagainya. Ritual ini dilakukan tiada lain dengan tujuan untuk  membersihkan diri dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Aq. Sumarni[2]) salah seorang sepuh masyarakat Nibas Masbagik, Bahwa “Teradisi bersin puase sudah lama ada dan diperaktikan oleh masyarakat, saya juga tidak tau dari mana datangnya teradisi ini, namun waktu kami masih muda teradisi ini sudah ada, kalau dulu dengan minimnya kendaraan maka kami hanya bisa melakukan bersin puasa pada tempat pemandian yang dekat saja, misalnya kalo di sini itu, Pancor Kopong.[3]) Berbeda dengan sekarang, orang tidak lagi hanya datang ke pancor kopong, melainkan mereka lebih memilih untuk pergi ketempat yang lebih jauh dan lebih Indah dengan fasilitas kendaraan yang sangat memadai saat ini. Masyarakat melakukan teradisi bersin puase ini, dengan tujuan agar mereka lebih siap, dan merasa lebih bersih begitu datangnya bulan puasa, makanya ritual yang ada dalam teradisi ini adalah orang-orang harus mandi entah itu di pantai atau di tempat pemandian lainnya, untuk membersihkan dirinya agar ia merasa lebih siap dan bersih menyambut dan menjalakan ibadah puasa”.[4])   
Berbeda dengan apa yang dikatakan Aq. Sumarni, Khaeril Anwar mengatakan bahwa dia melakukan teradisi bersin puase ini, semata-mata ikut teradisi yang telah lama ada dalam masyarakat, ia mengakui bahwa ia tidak tau pasti sejarah dan makna filosofis yang terkandung dalam teradisi ini, hanya saja ia mengatakan, “kalau dilihat dari istilahnya saja, maka bersin puasa yang dilakukan oleh masyarakat, baik dari kalangan muda ataupun tua mungkin tidak lain hanya bertujuan untuk membersihkan diri sebelum datangnya puasa, walaupun sebenarnya apa yang dilakukan masyarakat dalam ritual bersin puasa ini sebenarnya kalau saya lihat tidak ada anjuran sama sekali dalam agama, apalagi dalam teradisi ini, sering saya lihat hal-hal yang tidak dibenarkan dalam agama, misalnya seperti  anak muda yang pergi berdua-duaan dengan pacarnya. Walapun demikian ketika mereka ditanya mau ke mana? Pasti mereka akan menjawabte lalo bersin puase juluk” (kami mau pergi bersin puasa dulu)”.[5])
                                                                                                     
2.      Roah
Salah satu teradisi masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru dalam menyambut datangnya puasa Ramadhan adalah Roah atau syukuran. Biasanya roah ini dilakukan sehari menjelang datangnya puasa Ramadhan. Hanya saja teradisi ini hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu terutama oleh orang yang mapan secara ekonomi, dan teradisi roah menjelang puasa ini tidak mutlak dilakukan setiap tahunnya, dengan artian terkadang ia dilakukan dan terkadang pula ia juga tidak dilakukan.
Terkait dengan teradisi roah ini, Abu Rohan mengatakan, “Sebenarnya teradisi roah menjelang puasa ini dilakukan atas dasar keyakinan dan pemahaman masyarakat terhadap salah satu hadis Rasulullah yang mengatakan “Barang siapa yang senang dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya untuk masuk ke dalam api Neraka”. Hadis inilah yang menjadi dasar kenapa masyarakat terkadang melakukan roah atau syukuran menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Roah inilah yang menjadi wujud atau rasa kegembiraan orang yang melakukannya dengan harapan Allah akan mengharamkan jasadnya masuk ke dalam Neraka, dan puasa yang akan dijalankannya akan lebih barakah, dan mendapatkan nilai pahala yang berlipat ganda”.[6])
Hal senada juga diungkapkan H. Alwan Wijaya, bahwa “Roah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat desa ini, merupakan ekspresi dan wujud kegembiraan mereka atas datangnya bulan suci Ramadhan, masyarakat meyakini bahwa bulan Ramahdan adalah bulan yang istimewa, bulan penuh berkah, dan bulan di mana pahala dilipat gandakan. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi masyarakat untuk menyambut kedatangan bulan ini melakukan syukuran atau roah. Dengan acara roah ini, masyarakat berharap agar puasa yang akan dilakukannya lebih berkah dan bisa lebih baek dari puasa sebelumnya”.[7])
Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap teradisi masyarakat yang satu ini, dari puasa tahun ini dan puasa tahun sebelumnya, dua tahun berturut-turut, penulis tidak melihat masyarakat Nibas melakukan teradisi ini lagi. Menurut Abu Rohan, hal ini mungkin dikarenakan tingkat kesibukan masyarakat yang semakin tinggi, atau mungkin juga dikarenakan kesedaran masyarakat terutama masyarakat dengan tingkat ekonomi yang memadai berkurang terhadap nilai-nilai dan teradisi masyarakat yang ada. Begitupun yang diungkapkan oleh H. Alwan Wijaya, hanya saja menurut beliau, hal ini juga diakibatkan oleh pergesaran nilai dan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, masyarakat yang dulunya memegang kuat teradisi yang ada, kini sudah mulai untuk susah ditemui, dikarenakan oleh pengaruh budaya luar terutama yang masuk melalui media masa seperti televisi.

3.      Bederus
Salah satu bentuk teradisi keagamaan masyarakat Nibas dalam vestifal Ramadhan adalah apa yang disebut masyarakat dengan istilah “bederus” atau dalam istilah yang lebih dimengeti yaitu tadarusan. Bederus atau tadarusan yaitu teradisi baca al-Qur’an yang dilakukan oleh masyarakat di setiap mushalla dan masjid yang ada di desa. Yang menarik dari teradisi ini adalah ia dilakukan mulai dari habis tarawih sampai menjelang waktu sahur tiba. Biasanya orang yang melakukan tadarusan sampai menjelang sahur langsung bertugas menjadi orang yang membangunkan masyarakat untuk menunaikan ibadah sunah sahur. Selain itu, teradisi ini juga penuh dengan nilai kultural, di mana masyarakat terutama kaum ibu seakan punya kewajiban untuk memberikan makanan atau sangu bederus dalam istilah masyarakatnya, bagi orang-orang yang melakukan tadurasan baik di masjid maupun di mushalla. Teradisi nganter makanan (naekang) kepada orang-orang yang bederus seakan diatur sedemikian rupa, sehingga setiap malamnya, jama’ah ibu-ibu punya giliran masing-masing untuk nganter makanan. Padahal sepengetahuan penulis, aturan seperti ini tidak ada kesepakatan awal misalnya dari pengurus masjid, namun seakan masyarakat terutama jamaah ibu-ibu seakan punya aturan tersendiri tentang hal ini, sehingga ibu-ibu tidak harus setiap malamnya mengantarkan jamaah tadarusan, namun harus menunggu sampai giliran nganter atau naekang-nya datang.
 Menurut Bapak Tin, salah seorang warga yang sepengetahuan penulis tidak pernah alfa atau absen di masjid untuk tadarusan, ia mengatakan “Bederus adalah salah satu teradisi masyarakat yang harus dipertahankan dan tidak boleh hilang di tengah-tengah masyarakat, karna ia merupakan perintah Nabi, di mana umat Islam diperintahkan untuk memperbanyak ibadah, salah satunya adalah ibadah membaca al-Qur’an. Di samping itu, dia juga melihat bahwa teradisi bederus ini sangat bagus untuk mendidik generasi muda dan anak-anak, karna tak jarang anak-anak muda dan anak-anak juga ikut meramaikan masjid dalam rangka bedurus ini. Karena saat ini, anak-anak sudah semakin jauh dengan ajaran agamanya dan semakin jarang anak-anak yang suka mengaji, tetapi dengan adanya bederus ini, Alhamdulillah ada masih sebagian anak muda dan anak-anak  yang juga rajin ikut bersama kami untuk bederus dan meramaikan masjid, bahkan sampai menjelang orang melaksanak ibadah sunnah sahur.[8])
Berbeda dengan Bapak Tin, Murzani, takmir masjid Nurul Yaqin Nibas, yang memandang teradisi bederus ini hanya sebagai sunnah Rasul, dan perintah agama, serta salah satu cara untuk menghidupkan bulan suci Ramadhan. Sedangkan Sahudi, salah seorang pengurus masjid dan panti asuhan Nurul Yaqin Nibas mengatakan, “bederus merupakan perintah Rasul untuk menghidupkan malam di bulan puasa, dengan bederus inilah kita bisa merasakan bahwa kita berada di bulan puasa, kita bisa bandingkan bagaimana ketika bulan puasa dengan bulan setelahnya, di mana masjid dan musolla sepi, kalau seandainya kita memperlakukan bulan puasa sama seperti bulan-bulan lainnya, maka masyarakat tidak akan merasakan bahwa dia berada di bulan puasa, bederus inilah salah satu pembeda antara bulan puasa dengan bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itu, sampai kapanpun bederus ini harus tetap dilakukan, dan agar bederus ini tetap bertahan anak-anak juga harus mulai dididik dari sekarang dan diajak untuk ikut bederus.[9])
Yang menarik lainnya adalah, apa yang diungkapkan oleh anak-anak yang suka ikut teradisi bederus ini, bagi mereka teradisi dijadikan sebagai sarana uji mental dan uji kemampuan sejauh mana kepintaran mereka dalam membaca al-Qur’an, selain itu ada juga yang melakukan teradisi ini karena perintah orang tua, dan juga sebagian besar mengakui bahwa mereka melakukan teradisi bederus ini untuk memperoleh makanan yang diantarkan oleh jama’ah ibu-ibu. Oleh karena itu, yang terjadi adalah, setelah istirahat sejenak untuk menerima hidangan yang ada, anak-anak biasanya sehabis makan langsung pergi, tanpa harus mengikuti tadarusan lagi.[10])

4.      Mal-Mal
Teradisi masyarakat Nibas lainnya adalah mal-mal­-an, teradisi ini adalah teradisi bakar dile jojor pada malem ke-27 bulan Ramadhan, teradisi ini dilakukan oleh setiap individu di rumah mereka masing-masing, dile jojor ditaruh di halaman dan setiap pojok rumah dan kalau bisa dile jojor harus dipasang sebanyak mungkin di sekitaran rumah dan biasanya dilakuakn setelah berbuka puasa sampai menjelang datangnya waktu shalat isya. Dile jojor sendiri adalah sebuah benda yang dibentuk seperti sate kelapa yang bahan dasarnya dibuat dari buah jamplong (orang sini menyebutnya), biasanya banyak dijual di pasar-pasar teradisional mulai dari 10 hari menjelang lebaran sampai berakhirnya teradisi mal-mal.
Teradisi mal-mal atau bakar dile jojor ini biasanya banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak, walaupun tak jarang juga orang tua ikut melakukannya. Dalam perkembangannya saat ini, masyarakat tidak hanya menyalakan dile jojor melainkan juga menyalakan obor dan lilin yang nyalanya jauh lebih awet dari sekedar dile jojor yang nyalanya tidak bertahan lama.
Menurut Abu Rohan, teradisi mal-mal ini sudah ada sejak lama, semenjak beliau kecil teradisi sudah ada, hanya saja ketika penulis menanyakan istilah mal-mal ini dari mana dan maknanya apa, beliau tidak bisa memberikan jawabannya yang pasti, beliau hanya mengatakan kalau mal-mal-lan ini adalah bentuk apresiasi masyarakat terhadap malam lailatul qadari yang diyakini turun ketika malam ke-27 bulan puasa, teradisi membakar dile jojori adalah cara masyarakat untuk mencari berkah di malam itu, masyarakat berharap rumah-rumah yang dihiasi dile jojor mendapat berkah para malaikat yang turun pada malam lailatul qadar.
Apa yang diungkapkan oleh Abu Rohan juga diamini oleh H. Alwan Wijaya yang memandang bahwa teradisi ini merupakan cara masyarakat untuk mencari berkah pada malam di mana mereka meyakini lailatul qadar turun, rumah-rumah mereka diberkahi dan dilindungi dari segala macam bencana, termasuk dari orang-orang yang masuk ke dalam rumah itu dengan niatan jahat atau tidak baik.

5.      Takbiran (Kebir)
Terakhir adalah teradisi takbiran  yang dilakukan pada malam akhir bulan puasa atau pada malam lebaran idul fitri. Takbiran yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adalah dalam bentuk lomba antar desa, tidak hanya melibatkan desa Nibas saja, namun juga melibatkan desa-desa lainnya, seperti desa Tanak Maik, Orong Geres, Pancor Kopong, dan Kebon Dasan. Teradisi takbiran ini pasti dilakukan pada setiap tahunnya, sebagai apresiasi dan rasa syukur masyakat terhadap datangnya hari raya yang dinanti-nanti.
Tiap-tiap desa biasanya mempunyai perwakilan satu sampe dua perwakilan untuk mengikuti lomba takbiran ini. Tiap-tiap peserta lomba diwajibkan membawa obor dan menghiasi atribut mereka sebagus dan seindah mungkin karena menjadi salah satu aspek penilain dewan juri. Lomba takbiran ini, star atau di mulai setelah shalat isya sampai dengan selesai yaitu sampai dengan acara pembagian hadiah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Desa Masbagik Utara Baru, Khaerul Ikhsan, teradisi takbiran yang dilakukan oleh masyarakat pada tiap tahunnya harus tetap dilestarikan, di samping menjadi sarana memperkuat integritas masyakat desa dan melihat tingkat partisipasi dan apresiasi masyarakay terhadap program-program desa, juga sebagai cara mempertahankan nilai-nilai keagamaan masyarakat dan penanaman kesadaran beragama terutama bagi generasi muda dan anak-anak.[11])

C.  Analisis
Apa yang dilakukan masyarakat hususnya masyarakat Nibas, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, menurut penulis bukanlah sekedar teradisi atau kebiasaan tanpa nilai dan dasar, teradisi-teradisi itu merupakan refleksi masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Masyarakat mempunyai cara, apresiasi, dan ekspresi tersendiri terhadap nilai-nilai agama, dalam hal ini adalah nilai yang terkandung dalam kewajiban puasa Ramadhan. Dari penghayatan dan apresiasi masyarakat ini terhadap ajaran agama inilah yang kemudian memunculkan teradisi di dalam masyarakat itu sendiri.
Misalnya teradisi roah yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan merupakan refleksi dan ekspresi masyarakat terhadap salah satu hadi Rasulullah yang mengatakan;
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Barangsiapa senang dengan masuknya (datangnya) bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya bagi neraka.”[12])
Dari dasar inilah kemudian masyarakat membuat salah satu teradisi “roah” sebagai salah satu wujud kegembiraan mereka terhadap datangnya bulan suci Ramadhan. Dengan teradisi seperti ini, masyrakat berharap mereka termasuk orang-orang yang berbahagia dan bergembira dengan datangnya puasa Ramadhan, dan dengan teradisi ini mereka berharap puasa yang akan dilakukannya sebulan penuh akan mendapatkah berkah dan pahala yang berlipat dari Allah swt.
Contoh lainya adalah teradisi mal-mal yang merupakan refleksi terhadap ajaran Islam yang mengajarkan tentang adanya satu malam yang lebih baik dari seribu bulan atau yang dikenal dengan istilah malam lailatul qadar. Menurut keterangan hadis, bahwa malam ini datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan terdapat pada malam-malam ganjil mulai dari malam ke-21 sampai dengan malam ke-29. Namun menurut beberapa ulama’ ada yang mengatakan bahwa malam ini turun pada malam ke-27 bulan Ramadhan. Oleh dasar inilah kemudian masyarakat membuat salah satu teradisi yang disebut dengan teradisi mal-mal, yaitu teradisi membakar dile jojor disekitaran halaman rumah pada malam ke-27 bulan Ramadhan mulai dari habis berbuka puasa sampai menjelang shalat isya. Dengan teradisi ini, masyarakat berharap rumah-rumah mereka mendapatkan berkah malam lailatul qadar yang dibawa turun oleh para malaikat.
Sebagaimana firman Allah yang mengatakan;
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ   !$tBur y71u÷Šr& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ   ä's#øs9 Íôs)ø9$# ׎öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky­ ÇÌÈ   ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkŽÏù ÈbøŒÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ   íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB ̍ôfxÿø9$# ÇÎÈ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”.[13])
Begitu pula dengan teradisi bederus dan takbiran (kebir), merupakan refleksi dan ekpresi pemahaman masyarakat terhadap ajaran yang terkandung di dalam ibadah puasa Ramadhan. Di mana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memperbanyak ibadah salah satunya adalah ibadah baca al-Qur’an. Allah dan Rasul-Nya menjajikan bahwa pahala orang yang membaca satu huruf dari al-Qur’an pada bulan Ramadhan akan diberikan ganjaran sepuluh kali lipat. Oleh sebab itulah, masyarakat berlomba-lomba menghidupkan malam bulan Ramadhan ini dengan teradisi bederus atau tadarusan dengan harapan apa yang mereka lakukan menjadi amal ibadah mereka yang akan dibalas dengan ganjaran pahala yang berlipat-lipat oleh Allah swt.
Dari beberapa teradisi masyarakat Nibas di atas, penulis tidak mendapatkan atau menemukan dasar dari teradisi bersin puase yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang ada. Sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa informan di atas, bahwa teradisi bersin puasa ini memang telah ada, namun mereka tidak mengetahui dari mana datangnya teradisi ini. Namun menurut penulis sendiri ini juga merupakan repleksi masyarakat terhadap ajaran agama, di mana dalam menyambut datangnya bulan puasa kaum muslimin harus benar-benar siap baik secara mental, sepiritual, dan moral. Kesiapan ini hanya bisa diwujudkan setelah kaum muslimin bisa membersihkan diri  dan hati sebelum datangnya Ramadhan, sehingga puasa yang dilakukan, dijalankan dengan penuh keikhlasan dan rasa harap kepada Allah (ihtisiban). Mungkin atas dasar inilah muncul teradisi bersin puase yang dilakukan masyarakat, walaupun apa yang dilakukan masyarakat dalam teradisi ini bukan membersihkan diri, namun  justru mengotori diri dengan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya jauh dari ajaran Islam.

D.      Kesimpulan
Persentuhan Islam dengan budaya lokal masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru, kabupaten Lombok Timur dalam vestifal Ramadhan pada dasarnya merupakan repleksi dan apresiasi masyarakat terhadap pemahaman mereka tentang ibadah puasa Ramadhan itu sendiri. Dari sinilah kemudian muncul berbagai macam bentuk kultur atau teradisi lokal masyarakat Nibas dalam perayaan atau pelaksanaan ibadah suci Ramadhan ini. Seperti teradisi bersin puasa, roah, mal-mal, bederus, dan takbiran atau kebir.
Teradisi-teradisi masyarakat dalam pelaksanan Ibadah puasa ini menurut penulis harus dilestarikan dan dijaga, selain sebagai identitas masyarakat juga menjadi sarana mempertahankan dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama dalam bingkai teradisi lokal masyarakat, selama ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.



[1]  Q.S. Al-Baqarah : 183.
[2] Aq Sumarni merupakan warga desa Nibas Masbagik Utara Baru  yang berusia sekitar 65 tahun, walaupun ia bukan tokoh Agama, Masyarakat, ataupun Adat, tapi ia merupakan salah seorang yang dihormati dan dituakan di tengah-tengah masyarakat desa.
[3] Pancor Kopong merupakan salah satu tempat pariwisata berupa air terjun yang dijadikan sumber mata air bagi masyarakat sekitar, bahkan oleh pemerintah kabupaten Lombok Timur.  Ia terdapat di daerah Masbagik Utara Baru, letaknya tidak jauh dari desa Nibas, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
[4]  Wawancara dengan Aq. Sumarni pada hari Sabtu, tanggal 24 November  2012.
[5] Wawancara dengan Khaeril Anwar, salah seorang pemuda Nibas, yang saat ini menjabat sebagai Kapala Urusan Umum Desa Masbagik Utara Baru. Menurut pengakuannya ia juga sering bahkan hampir setiap tahunnya pergi melakukan apa yag disebut oleh masyarakat ini dengan istilah “bersin puase”. Sabtu, 24 November 2012.
[6] Wawancara dengan Abu Rohan, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama masyarakat Nibas, Mabagik Utara Baru, yang saat ini berusia hampir 80 tahun. Ahad, 25 November 2012.
[7] Wawancara dengan H. Alwan Wijaya pada hari Ahad, 25 November 2012. Beliau adalah salah seorang tokoh agama dan juga masyarakat, sama seperti Abu Rohan, yang saat ini berusia 73 tahun.
[8] Wawancara dengan Bapak Tin, salah seorang warga Nibas, walaupun dia bukan tokoh masyarakat dan agama, tapi sangat dihormati oleh masyarakat Nibas, karena beliau sering ditugaskan untuk menjadi bilal baik dalam solat jum’at maupun solat hari raya idul fitri dan idul adha, selain itu beliau juga adalah orang yang dipercaya masyarakat dalam urusan sembelih-menyembelih kambing dan sapi. Ahad, 25 November 2012.
[9]  Wawancara dengan Murzani dan Sahudi, Ahad, 25 November 2012.
[10] Wawancara dengan Wahyu (kls 3 SMP), Haekal (Kls 1 SMP), Radit (kls 1 SMP), Zamroni (kls 6 SD), dan Adin (kls 6 SD), mereka adalah sebagian anak-anak yang suka ikut meramaikan masjid dalam rangkan menghidupkan malam puasa dengan teradisi bederus. Ahad, 25 November 2012.
[11]  Wawancara dengan kepala desa Masbagik Utara Baru (Khaerul Ikhsan). Ahad, 25 November 2012, di rumah kediaman beliau di Dusun Jagal, Nibas.
[12] Walaupun hadis ini dianggap hadis palsu (maudhu’), namun hadis ini sudah menjadi salah satu hadis masyhur di tengah-tengah masyarakat, banyaknya para da’i dan ust yang menggunakan hadis ini dalam ceramah-ceramah menyambut datangnya Ramadhan sehingga ia menjadi pemahaman yang mengakar di tengah-tengah masyarakat.
[13] Q.S. al-Qadr : 1-5.