Jumat, 04 Januari 2013


PENERAPAN HUKUM ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT LOMBOK ANTARA TANTANGAN DAN PELUANG[1]
(Sebuah catatan pinggir tentang Peta Sosiologis di Gumi Sasak)

Oleh : Muhammad Zaenuri [2]

PENDAHULUAN

Abstraksi

Membahasakan hukum Islam dalam konteks sosiologis akan memberikan pemaknaan lain dengan “bahasa” normatif, setidaknya klasfikasi Amin Abdulloh tentang normatifitas dan historisitas menjadi pendekatan yang “mendekatkan” proses pemahaman agama terutama dalam konteks praksis dan faktualnya[3]. Kondisi sosiologis semacam budaya, ekonomi, alam dan seterusnya memberikan peluang “shifting paradigm” dalam hukum Islam. Shifting paradigm atau perubahan pemikiran dan pemaknaan dalam memahami agama menjadikan wajah agama menjadi sangat elastis. Wacana elastisitas ini menjadikan peran agama sebagai “solusi” persoalan hidup manusia dewasa ini menjadi dirindukan. Kerinduan manusia ini bermakna ganda bagi pemegang hak pemaknaan terhadap agama, sebutlah mereka para ulama’, tuan guru, cendekiawan bahkan umatnya di satu sisi sebagai peluang dan di sisi lain sebagai tantangan, dan ini apabila berbicara agama-agama yang masuk dalam garis tipologis sebagai Missionaris Religions atau dalam bahasa agama Islam sebagai agama dakwah. Kerinduan yang terasa mendesak karena tuntutan berbagai macam persoalan baik paradigmatik konseptual maupun yang praksis. Setidaknya Islam memiliki potensi eksistensial yang diharapkan dapat menjawab itu semua. Ranah hukum menjadi dilema dan ajang pertarungan yang “sengit” dalam proses pemaknaan ini, setidaknya banyak fakta menunjukkan hal ini, konflik yang bahkan menjurus ke konflik fisik menyertai multi segmentasi makna. Satu hal yang perlu dicatat sebagai “secercah terang” optimisme yaitu semakin dewasanya pemikiran dan diskusi terus dilakukan walaupun memang dalam beberapa kasus faktanya cukup “memprihatinkan” dan menjadi pekerjaan besar umat ini ke depan. Semoga.....


Latar Belakang

Persoalan yang mendera umat Islam dalam konteks “pergaulan” mereka dengan dunia kontemporer, semisal kemiskinan, pendidikan dan krisis politik di beberapa wilayah muslim membuat “wajah” menjadi semakin suram, apalagi ditambah dengan isu terorisme yang menjadi trend hari ini. Tarik menarik kepentingan ekonomi kapitalis yang arah ekonomi dunia yang dilanda resesi dan krisis. Umat Islam berada di “persimpangan” artinya antara mengambil peran akif sebagai bagian dari penduduk dunia dalam rangka mengentaskan berbagai persoalan yang mendera tersebut, serta di sisi lain berusaha menjaga eksistensi keIslaman mereka tetap dapat terjaga dan memiliki warna dalam proses “memperbaiki dunia”.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Lombok, isu-isu keislaman tadi mungkin masih cukup jauh dari nalar sosial mereka, namun berbicara konteks keIndonesiaan, terutama dalam dua sampai tiga dekade belakangan maka akan terlihat konstelasinya begitu massif. Isu-isu tersebut kadang-kadang tidak memberi ruang dan waktu untuk dianalisa dipelajari atau mungkin diolah, semuanya kadang berjalan cepat dan melesat-lesat. Dalam konteks itu penulis ingin berangkat memberikan mungkin saja semacam catatan pinggir untuk dapat mengambil kesimpulan yang diharapkan untuk menguatkan semacam spiritualitas, atau konstruksi sistem sosial yang kita miliki hari ini.

Masyarkat Lombok dengan namanya bumi seribu masjid, seribu Tuan Guru, sejuta Jama’ah, atau mungkin dapat kita labelkan lagi dengan sejuta masalah, sebagaimana juga beberapa daerah di Indonesia, yang sedang dalam proses bergerak dan terus bergerak, proses modernisasi yang massif di mana-mana, arus informasi yang melewati batas logika akan membuat perubahan itu berjalan nyata dan cepat. Setidaknya walaupun misalnya anda bukanlah seorang peneliti pasti akan melihat gejala-gejala sosial yang andaikata anda memakai sedikit saja nalar akademik maka perubahan yang terlihat akan membuat anda tertegun dan mungkin saja memberikan anda kekuatan tambahan untuk melakukan semacam Social Change sebagaimana anda dulu diamanatkan di perkuliahan. Social change atau perubahan sosial dalam arti ke arah yang “berperadaban” (civilized society) tentu merupakan dambaan semua kita, baik sebagai bagian dari masyarakat, atau masyarakat ilmiyyah bahkan umat Islam yang moral agama kita memberi penekanan yang besar terhadap hukum dan ketertataan hidup manusia.

Ketertataan dalam konteks ini adalah terlaksananya hukum dan aturan nilai secara benar dan sadar, dalam konteks sosiologis kemudian akan terlihat bahwa masyarakat yang menjalankan aturan akan memiliki kesadaran yang sama tentang visi hidup bermasyarakat sebagai sebuah tubuh dan sistem yang saling mengikat[4] dan selanjutnya semua anggota masyarkat tersebut akan dengan sadar dan loyalitas akan menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati bersama sebagai wujud nyata komitmen mereka dalam bermasyarakat dan dapat juga dibahasakan dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari warga negara .

Ketika Rasululloh SAW melanjutkan dakwahnya di Madinah sebagai wilayah yang baru, beliau tidaklah berfikir untuk meletakkan aturan sebagai sebuah materi hukum yang membelenggu artinya aturan nilai yang ditawarkan adalah nilai universal (dalam konteks kesepakatan sosial berbeda dalam konteks hukum eskatologis ketuhanan) sehingga kemudian masyakat madinah disebut  sebagai masyarakat yang berperadaban (civilized society), karena masyarakat Madinah saat itu yang terdiri dari berbagai golongan dan unsur sepakat untuk melakukan usaha bersama dalam mewujudkan visi bersama masyarakat Madinah yang diikat dalam kesepakan Madinah (Piagam Madinah)[5].

Kepemimpinan Nabi ketika di Madinah memberikan pendidikan ketatanegaraan yang sangat berharga, dan aplikasinya dapat dimana saja serta kapan saja, gaya serta semua komponen yang terjalin dalam kesatuan masyarakat Madinah menjadi tipologi ideal struktur masyarakat dalam segala masa terutama di era modernitas hari ini. Hegemoni suprastruktur politik yang menggurita sampai ke semua dimensi, artinya hari ini di dunia manapun walaupun kedaulatan rakyat menjadi defenisi kemerdekaan setiap bangsa atau penjajahan fisik mungkin tidak terjadi dimana-mana sebagaimana era imprealisme dulu namun penjajahan dalam bentuk globalisasi dan kendali ekonomi kapitalis yang mengungkung merupakan substansi hegemoni atas pihak lain alias penjajahan masih terus berjalan.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga (berkembang) dalam posisi percaturan dunia hari ini, masih dalam posisi terhegemoni dan terikat dengan kuasa-kuasa kapitalis, kesimpulan ini mungkin saja masih sangat berbau teori konspirasi, tetapi efeknya terlihat dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Hukum yang merupakan produk kebijakan dan politik juga terimbas hegemoni dan ini terlihat dari beberapa produk hukum yang merupakan “pesanan”, dan dalam bentuk lain adalah usaha yang terus dilakukan umat Islam Indonesia untuk memiliki sebuah produk hukum yang mewakili aspirasi dan kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia namun belum terealisasi secara maksimal, dan beberapa produk hukum yang berciri Islam masih terkatung-katung sebagai hukum yang “ompong” karena cuma ditetapkan keberlakuannya dengan Inpres.

Lombok dalam peta sosiologis hukum memiliki banyak hal yang menarik untuk dikaji dan dapat menjadi semacam wahana kajian ilmiyyah yang sangat kaya, karena sesuatu yang menarik dalam kerja ilmiyyah adalah fakta-fakta baru, dan dalam konteks ini fenomena-fenomena unik yang mungkin saja tidak ada di daerah lain menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Fokus ulasan dan kajian makalah ini adalah pada konteks soiologi hukum yaitu fenomena penerapan hukum di masyarakat Lombok antara tantangan dan peluang. Kajian ini merupakan bagian dari kerja ilmiyah untuk mencari fakta-fakta yang dapat dijadikan bahan materi ilmu pengetahuan dalam ranah tema besar sosiologi, dan harapan selanjutnya juga agar dapat menjadi bahan evaluasi kebijakan dalam penerapan hukum, supaya hukum dapat memiliki peran sosial yang maksimal.

Tema besar sosiologi hukum merupakan tema kajian sosiologi yang mengaitkannya dengan hukum, yang merupakan derivasi kajian besar sosiologi. Para pakar yang menjadi peletak dasar kajian ini diantaranya : Roscoe Pound, Emile Durkheim, Eugene Ehrlich, Mark Weber, dan Karl Llewellyn. Sosiologi hukum menitik beratkan kajiannnya pada hubungan timbal balik  antara hukum dengan gejala-gejala sosial serta jarak antara cita dan fakta penerapan hukum di masyarakat. Dan dalam makalah singkat ini hal-hal tersebuat akan menjadi tema-tema acuan yang akan memandu kajian makalah ini, harapan kami semoga memberi sebuah jawaban dalam kajian sosiologi hukum atau paling tidak memberi semacam data awal dalam arah kajian yang lebih serius terutama dalam tema kajian sosiologi hukum Islam.



PEMBAHASAN

Pada diskusi sebelumnya, dari beberapa tema yang telah dibahas oleh teman-teman di dalam diskusi kelas, kami melihat teman-teman lebih banyak memfokuskan kajiannya pada tema-tema tradisi dan fakta sosial masyarakat, dan masih belum begitu banyak secara spesifik menyentuh kajian sosiologi hukum, walaupun memang tradisi terutama tradisi keagamaan memiliki kaitan erat dengan nilai dan kebijaksanaan masyarakat yang merupakan unsur awal pembentukan hukum, dan juga secara sosiologis, hukum merupakan manifestasi kebijaksanaan, nilai, kepercayaan, cita dan bahkan agama sebuah komunitas. Artinya sebuah masyarakat dapat dinilai kedalaman nilai sosialnya dari produk hukum yang dihasilkannya. Dan kami dalam makalah ini ingin berusaha mempertatutkan tema-tema kajian sebelumnya dengan konteks sosiologi hukum serta tentang prospek penerapan hukum di masyarakat Lombok khususnya antara peluang dan tantangan. 

Peta sosiologis masyarakat Lombok

Secara sosiologis masyarakat Lombok merupakan masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat agraris. Ini kalau mlihat mayoritas penduduk yang ada di Lombok memiliki profesi sebagai petani dan hidup di pedesaan, walaupun di beberapa kantong, terlihat gerak perkembanga ekonomi dan modernisasi sebagaimana yang ada yng telah ada di kota-kota di Lombok, dan kenyataannya penguasaan gerak ekonomi sebagiannya oleh penduduk non pribumi.

Ciri agraris ini bisa bertaut dengan kecenderungan pemikiran tradisionalis pada masyarakat Lombok, yang khas dengan ketertuntunan nilai dan gerak lambat perubahan sosial, artinya masyarakat Lombok memiliki karakter yang selalu bisa menjaga nilai-nilai karena gerusan meodernisasi dalam kehidupan mereka belum sedahsyat masyarakat yang ada di wilayah perkotaan. Tradisi agama yang selalu dijalankan menunjukkan kesetiaan mereka pada nilai-nilai warisan serta penghargaan mereka kepada nilai agama yang dianut dan kepada pemimpin-pemimpin spiritual keagamaan yang menjadi manifestasi kebenaran ketuhanan.

Dalam tema-tama sosiologi, kepemimpinan ulama’ atau tuan guru disebut kepemimpinan Kharismatik atau kepemimpinan yang didasarkan kepada kharisma dan pesona individu pemimpinnya yang lahir akibat proses pencapaian spiritualitas individu si pemimpin, atau warisan orang tuanya atau juga lahir dengan sebab  konstruksi sosial setempat. Terlepas dari hal itu, melihat masyarakat Lombok hari ini dengan kondisi sosialnya yang agraris tradisional ini memungkinkan kita meletakkan pijakan analisa makalah ini terutama dalam konteks pelaksanaan hukum di masyarakat.

Tema-tema sosiologi hukum

Sebelum lebih jauh melakukan pembahsan, perlu diberikan peta awal ranah-ranah yang menjadi pembahsan spesifik dalam kajian sosiologi hukum yang menjadi salah satu tema sosiologi, agar dapat menjadi acuan kajian selanjutnya, di antaranya :
·         Hukum dan sistem sosial masyarakat
·         Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
·         Sifat sistem hukum yang dualistis
·         Hukum dan kekuasaan
·         Hukum dan nilai sosial budaya
·         Peranan hukum sebagai alat perubahan sosial

Dari tema-tema tersebut terdapat beberapa tema yang menarik untuk diterapkan dalam melihat peta sosiologis masyarakat Lombok terutama dalam konteks sosiologi hukum di antaranya hukum sebagai manifestasi sistem sosial masyarakat, hukum dan kekuasaan  serta peranan hukum dalam perubahan sosial, dari hal tersebut akan memberikan peta yang lebih kongkrit tentang kajian makalah ini, terutama dalam penerapan hukum di masyarakat dan kaitannya dengan tema-tema sosiologi hukum tadi.

Pelaksanaan Hukum di Masyarakat Lombok

Hukum merupakan manifestasi nilai dan cita masyarakat artinya sebuah produk hukum lahir dari aspirasi dan cita bahkan agama sebuah komunitas, artinya ketika masyarakat didefenisikan sebagai sebuah kelompok individu yang memiliki komitmen bersama untuk hidup berdampingan dan meraih cita dan visi bersama, dan hukum merupakan perangkat yang diharuskan dalam rangka menjaga komitmen tersebut, karena ketika pelaksanaan hukum berjalan dengan baik, itu artinya komitmen setiap individunya sangat besar terhadap visi bersama masyarakat tadi.
Di Lombok pelaksanaan hukum positif sebagai manifestasi sistem hukum negara masih belum kuat, namun pelaksanaan hukum adat dan nilai-nilai keagamaan masih cukup terjaga walupun dalam beberapa hal sudah berkurang, mungkin saja proses ini dapat dibaca sebagai penggerusan nilai akibat modernisasi, gerak ekonomi, informasi dan proses dan pendekatan edukasi yang tidak berhasil, namun setidaknya faktanya proses tradisi ini masih berjalan stabil, dan mungkin sebagai sebuah proses alamiah ke depan akan mengalami fluktuasi bahkan mungkin punah.

Kesetiaan kepada nilai lokal dalam pelaksanaan tradisi agama dan budaya setempat terjaga dengan ayoman para pemimpin non formal kharismatik bernama tuan guru, yang selalu memberikan kekuatan moral agama dalam ceramah dan fatwa-fatwa keagamaan yang mereka sampaikan. Posisi politis dan kekuasaan kultural tuan guru sangat sulit digantikan oleh kekuasaan negara dalam konteks pelaksanaan hukum positif terutama dalam hukum perdata. Banyak contoh kasus pelaksanaan hukum positif terabaikan dan masyarakat lebih memilih dan meyakini hukum adat atau hukum agama, walaupun hukum posistif seperti UU no tahun 1974 atau KHI dikompilasi melalui kajian sosial terhadap materi-materi hukum adat yang selama ini dilaksanakan di masyarakat, namun tetap saja keberlakuannya masih sangat belum memadai di masyarakat Lombok. Mungkin saja seandainya hukum perdata disertai dengan sanksi dan  aturan tegas bagi para pelanggarnya maka akan dapat dijamin keterlaksanaannya secara memadai. 

Modernisasi dan perubahan nilai

Setidaknya imbas modernisasi mengambil peran yang signifikan dalam konteks perubahan nilai dan imbas yang lain juga adalah kepada pelaksanaan hukum di tengah masyarakat. Karena sifat modernisasi yang memberikan perubahan di semua sisi dan elastisitas dan keterbukaan pemikiran, empirisisme dan rasionalisme sebagai panduan filosofis, membuat masyarakat memposisikan diri lebih kritis terutama dalam pelaksanaan hukum dan nilai agama yang cenderung dianggap kadang-kadang bertentangan dengan nilai modernitas. Tapi setidaknya hukum positif lebih memiliki peluang untuk diikuti sebagai hasil konfirmasi nilai modernitas yang berwujud hukum positif yang dihasilkan dari rahim filsafat hukum modern.

Lombok dan masyarakat Lombok tergerus juga oleh arus modernitas yang mendunia, walau yang tersisa adalah sisi negatifnya, laju pendidikan yang kian pesat dan gerak ekonomi dan pembangunan, media-media elektronik menjadi corong-corong modernitas yang menawarkan kebebasan merupakan wahana yang dirindukan dalam kelompok muda walau dalam pemaknaan yang masih sangat naif. Hal inilah yang kemudian membuat nilai dan budaya serta di dalamnya apa yang disebut kesetiaan terhadap hukum menjadi memuai, pelaksanaannya kemudian tidak lagi didasari rasa kesetiaan yang tulus namun lambat laun menjadi hanya “tampakan luar” dan upaya menjaga hubungan harmonis dalam bingkai kesatuan masyarakat.

Hukum dan perubahan sosial
Kajian-kajian sosiologi modern melihat hukum tidak hanya sebagai alat kekuasaan negara dan manifestasinya, namun lebih dari itu sebagai manifestasi nilai yang diyakini oleh masyarakat serta menjadi peluang yang besar untuk melakukan perubahan sosial dan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Contoh yang memadai tentang hal ini bagaimana misalnya hukum ekonomi memberikan peranan pola baru ekonomi dunia dan berimbas pada karakter masyarakat dalam memandang nilai dan budayanya.

Harapan awal pembentukan hukum di Indonesia juga adalah perubahan sosial masyarakat akibat pelaksanaan hukum ini, namun fakta yang terlihat terutaa dalam masyarakat Lombok belumlah terlaksana secara memadai dan maksimal, karena masyarakat Lombok lebih memberi ruang yang luas dalam keberlakuan hukum adat dan hukum nonformal yang terasa lebih memberi nilai keadilan dan kebenaran ketimbang hukum negara atau hukum positif.

Politik dan politisasi wajah kita semua

Proses reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Suharto pada tahun 1998 dan berlanjut pada reformulasi semua kaidah dan tata aturan sistem terutama dalam konteks politik dan demokrasi sebagai fondasi meniscayakan semua proses dilakukan dengan suara terbanyak. Dan belum lagi isu Hak Asasi Manusia yang menjadi trend kemandulan aturan hukum di beberapa bagian artinya pelaksanaan hukuman dulu secara adat banyak terbatasi dengan isu dan pemaknaan yang belum sempurna tentang HAM, yang memang seharusnya memang berjalan sinergis dan linier.

Pemilihan-pemilihan baik kepala negara, daerah bahkan sampai ke tingkat yang paling rendah yaitu pemilihan kadus misalnya telah menjadikan karakter masyarakat yang hipokrit dan hedonis, belum lagi pendekatan yang belum dewasa dalam berpolitik membuat penyakit akut yang bernama proses “curang” money politik menjadi darah daging.  Tidak ada yang tidak terlibat, bahkan proses pemilihan ini disebut dalam idiom kita sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi, entahlah lantas pemaknaannya menjadi pesta yang menjadi awal pembunuhan karakter masyarakat dan menjadi asal-usul penyakit dlam sistem bernegara dan bermasyarakat. Yang sangat parah ketika yang melakukannya adalah mereka yang selama ini menjadi “plipurlara” spiritualitas keagamaan masyarakat yang bernama tuanguru dan ulama. Penulis merasa wilayah  politik praktis belum menjadi rumah yang ramah untuk mereka walaupun perintah agama untuk mewujudkan kemaslahatan kepada banyak orang, namun pilihan untuk ikut bermain dalm dunia politik menjadi pilihan yang sering salah, walaupun tidak menutup kemungkinan seandainya ada dari kalangan mereka memiliki kapasitas yang memadai untuk ikut terlibat.

Gerusan proses politik menjadi alat pendidikan yang efektif kepada masyarakat untuk megurangi rasa kepercayaannya kepada peran-peran sosial pemerintah dan tokoh-tokoh lainnya, dan berimbas pada krisis dalam pelaksanaan hukum.

Tokoh agama dalam peran

Kekuatan informal dan kultural tokoh agama di Lombok belum tertandingi kuasa politik pemegang kekuasaan. Setidaknya ini masih berjalan baik hingga saat ini, dan ini merupakan potensi besar untuk menjadikan para tokoh agama tersebut sebagai agen perubahan yang evolusioner dalm konteks perubahan sosial yang dipegang oelh agama dengan tokoh-tokohnya. Sebut saja masyarakat Jepang yang maju dan berkembang pesat ditopang oleh filosofi hidup agamanya, inilah yang belum terlihat jelas ketika berbicara peran para tokoh agama di masyarakat.

Tokoh Masyarakat juga harus memiliki sense dan bekal keilmuan yang memadai dalam melihat laju gerak masyarakat, buka untuk mengikuti, namun untuk melakukan upaya pengendalian dan rekayasa yang baik menuju masyarakat yang maju namun memiliki karakter yang sehat dan lurus.

Gerusan politik dan ketidaksiapan para tokoh agama saat ini membuat masyarakat sering kehilangan rujukan dalam melakukan semua proses kehidupannya, akhirnya kekuatan kultural ini seringkali malah kehilangan daya saktinya dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi. Masyarakat merindukan karakter lurus dan jujur dari individu tokoh agama ini agara dapat menjadi harapan baru mereka dalam melihat kenyataan sosial yang sering tidak berkeadilan.

Kesimpulan dan Saran
Dari uraian dan kajian yang telah dilakukan penulis tentang pelaksanaan hukum di masyarakat Lombok, terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan catatan:
1.      Pelaksanaan hukum di masyarakat Lombok masih didominasi hukum adat dan hukum informal, karena hukum negara belum memberikan rasa keadilan dan kebenaran yang diharapkan oelh masyarakat.
2.      Peran hukum dalam perubahan sosial sangat besar, untuk itu, usaha pelaksanaan hukum yang baik di masyarakat harus ditingkatkan agar proses perubahan sosial dapat diarahkan kepada hal yang lebih baik.
3.      Peran sosial tokoh agama memiliki peran signifikan di masyarakat Lombok setidaknya hingga hari ini, namun dapat tergrus dan bahkan hilang kalau tokoh agama ini tidak memberikan jawaban terhadap harapan masyarakat, yaitu sebagai rujukan yang benar tentang moral dan hukum.

Demikianlah kajian ini, dan kami mengakui ini mungkin belum dapat disebut sebagai tulisan ilmiyah murni, karena tulisan ini dalam beberapa bagian, tidaklah mengikuti prosedur penulisan karya ilmiah, namun kami berharap tulisan ini dapat menjadi pemicu kajian-kajian yang lebih serius selanjutnya. Atas semua perhatian kami ucapkan banyak terimakasih.    

Wallohu waliyyuttaufiq....


[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi kelas, untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sosiologi Hukum Islam” semester 3, Program Pasca sarjana IAIN Mataram, Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Kelurga Islam), dengan Dosen Pengampu : Dr. H. Miftahul Huda, Pada hari jum’at tanggal 28 Desember 2012
[2] Penulis merupakan mahasiswa semester 3, Program Pasca sarjana IAIN Mataram, Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah (Hukum Kelurga Islam).
[3] Historisitas dn norematifitas dikatakan seperti dua sisi mata uang dalam pendekatan studi agama dalam konteks ini agama Islam lebih khusus lagi konteks hukumnya, normatifitas menekankan pada makna teks dan semua alur pemaknaan yang baku sesuai petunjuk “otoritatif” agama, sedangkan historisitas lebih melihat bahwa antara agama dan keberagamaan serta pemahaman terhadap agama adalah sisi yang berbeda, dari segi historisitas, agama akan mengalami proses “dibumikan” atau “dimanusiakan” dalam pemaknaan bahwa manusia merupakan pelaksana atau subyek pelaksanaan agama ini adalah makhluk yang memiliki akal dan sejarah, dalam dua poros tersebut agama akan mengalami pemaknaan dan praktik yang akan sangat selalu terikat dengan tarik menarik dengan sisi normatif dan fakta historis sosiologis yang mengitarinya. Pendekatan ini memungkinkan sebuah peluang mamaknai agama sebagai sebuah solusi budaya dan peradaban manusia terutama dalam alam globalisasi seperti sekarang ini. Tentang hal ini lihat Amin Abdullah
[4] Teori tentang sistem, kontrak sosial meniscayakan bahwa setiap individu dalam setiap kelompok masyarakat akan berjalan dalam sebuah kontrak tidak tertulis untuk menjalankan visi dan cita-cita bersama dalam mencapainya maka ketundukan terhadap aturan ukum dan nilai akan selalu menjadi ruh tingkah lakua setiap individu masyarakatnya. Dalam masyarakat modern kemudian hal ini dapat diwujudkan dengan salah satunya adalah penguatan hukum (law inforsement) di tengah-tengah masyarakat, dalam banyak hal kendali hukum kan menjaga stabilitas yang lain semacam budaya, ekonomi dan sebagainya. Teori ini menjadi tema diskursus soiologi modern dan tema ini juga yang menginspirasi Max weber ketika menulis tentang nalar agama protestan sebagai penyebab yang melahirkan etos kerja masyarakat modern. Lihat ......

[5]

Kamis, 27 Desember 2012

PERSENTUHAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT NIBAS, MASBAGIK UTARA BARU, LOTIM DALAM VESTIFAL RAMADHAN



Oleh : Akmaludin Sya’bani
A.  Pendahuluan
Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammdad saw. Syari’at ini mewajibkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah bulan puasa sebulan lamanya, yaitu pada bulan Ramadhan. Pensyari’tan ibadah puasa kepada kaum muslimin ini merupakan salah satu cara Allah untuk menguji hamba-Nya, sejauh mana tingkat keimanan yang dimiliki oleh setiap hambanya, dan dengan puasa ini Allah berharap agar seorang muslim mampu meraih derajat tertinggi dari seorang yang beriman, yaitu derajat ketakwaan.
Dalam surat al-Baqarah ayat 183, Allah berfirman :
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? 
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.[1])
Ayat 183 surat al-Baqarah inil menjadi salah satu dasar hukum bahwa Allah telah mensyariatkan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan kepada umat Islam sebagaimana Allah mensyariatkan kewajiban berpuasa ini juga kepada umat-umat sebelum datangnya Islam.
Hanya saja dalam tataran aplikatif, masyarakat muslim mempunyai apresiasi dan ekspresi yang berbeda-beda terhadap syari’at yang satu ini. Apresiasi dan ekspresi yang dimaksudkan adalah cara masyarakat muslim menerima, menyambut, memeriahkan dan mengaplikasikan ibadah ini berbeda-beda, mengikuti kultur yang ada di setiap masyarakat yang ada. Misalnya masyarakat muslim Jawa dengan masyarakat muslim lombok atau yang lainnya tentu memiliki teradisi atau kultur yang berbeda dalam ekspresi keagamaan mereka terhadap bulan Ramadhan ini. Atau dalam sekala yang lebih kecil, msyarakat muslim lombok timur dengan masyarakat muslim lombok tengah atau lombok barat, juga tentu memiliki penghayatan dan ekspresi yang berbeda dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan ini.
Dari dasar itulah, makalah ini akan mencoba membahas persentuhan Islam dengan budaya lokal yang terdapat dalam masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru, Kabupaten Lombok Timur, dalam perayaan atau vestifal Ramadhan. Yang menurut penulis, ada beberapa model persentuhan yang kemudian melahirkan kultur atau teradisi bulan Ramadhan pada masyarakat Nibas, yaitu; pertama, teradisi Bersin Puasa. Kedua,teradisi Roah. Ketiga, teradisi Bederus. Keempat, teradisi Mal-Mal. Dan kelima, teradisi Takbiran.
B.  Pembahasan
1.      Bersin Puasa
Dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan atau puasa, sudah menjadi teradisi sebagian masyarakat sasak untuk melakukan penyucian atau pembersihan diri atau dalam istilah mereka adalah “bersin puase”. Ritual bersin puase ini biasanya dilakukan oleh masyarakat mulai dari seminggu sebelum datangnya puasa sampai dengan sehari menjelang berpuasa, namun kebiasaan ini lebih banyak dilakukan sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan.  Masyarakat biasanya mendatangi berbagai tempat pariwisata hususnya tempat pemandian, seperti, pantai, air terjun, kolam-kolam, dan lain sebagainya. Ritual ini dilakukan tiada lain dengan tujuan untuk  membersihkan diri dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Aq. Sumarni[2]) salah seorang sepuh masyarakat Nibas Masbagik, Bahwa “Teradisi bersin puase sudah lama ada dan diperaktikan oleh masyarakat, saya juga tidak tau dari mana datangnya teradisi ini, namun waktu kami masih muda teradisi ini sudah ada, kalau dulu dengan minimnya kendaraan maka kami hanya bisa melakukan bersin puasa pada tempat pemandian yang dekat saja, misalnya kalo di sini itu, Pancor Kopong.[3]) Berbeda dengan sekarang, orang tidak lagi hanya datang ke pancor kopong, melainkan mereka lebih memilih untuk pergi ketempat yang lebih jauh dan lebih Indah dengan fasilitas kendaraan yang sangat memadai saat ini. Masyarakat melakukan teradisi bersin puase ini, dengan tujuan agar mereka lebih siap, dan merasa lebih bersih begitu datangnya bulan puasa, makanya ritual yang ada dalam teradisi ini adalah orang-orang harus mandi entah itu di pantai atau di tempat pemandian lainnya, untuk membersihkan dirinya agar ia merasa lebih siap dan bersih menyambut dan menjalakan ibadah puasa”.[4])   
Berbeda dengan apa yang dikatakan Aq. Sumarni, Khaeril Anwar mengatakan bahwa dia melakukan teradisi bersin puase ini, semata-mata ikut teradisi yang telah lama ada dalam masyarakat, ia mengakui bahwa ia tidak tau pasti sejarah dan makna filosofis yang terkandung dalam teradisi ini, hanya saja ia mengatakan, “kalau dilihat dari istilahnya saja, maka bersin puasa yang dilakukan oleh masyarakat, baik dari kalangan muda ataupun tua mungkin tidak lain hanya bertujuan untuk membersihkan diri sebelum datangnya puasa, walaupun sebenarnya apa yang dilakukan masyarakat dalam ritual bersin puasa ini sebenarnya kalau saya lihat tidak ada anjuran sama sekali dalam agama, apalagi dalam teradisi ini, sering saya lihat hal-hal yang tidak dibenarkan dalam agama, misalnya seperti  anak muda yang pergi berdua-duaan dengan pacarnya. Walapun demikian ketika mereka ditanya mau ke mana? Pasti mereka akan menjawabte lalo bersin puase juluk” (kami mau pergi bersin puasa dulu)”.[5])
                                                                                                     
2.      Roah
Salah satu teradisi masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru dalam menyambut datangnya puasa Ramadhan adalah Roah atau syukuran. Biasanya roah ini dilakukan sehari menjelang datangnya puasa Ramadhan. Hanya saja teradisi ini hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu terutama oleh orang yang mapan secara ekonomi, dan teradisi roah menjelang puasa ini tidak mutlak dilakukan setiap tahunnya, dengan artian terkadang ia dilakukan dan terkadang pula ia juga tidak dilakukan.
Terkait dengan teradisi roah ini, Abu Rohan mengatakan, “Sebenarnya teradisi roah menjelang puasa ini dilakukan atas dasar keyakinan dan pemahaman masyarakat terhadap salah satu hadis Rasulullah yang mengatakan “Barang siapa yang senang dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya untuk masuk ke dalam api Neraka”. Hadis inilah yang menjadi dasar kenapa masyarakat terkadang melakukan roah atau syukuran menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Roah inilah yang menjadi wujud atau rasa kegembiraan orang yang melakukannya dengan harapan Allah akan mengharamkan jasadnya masuk ke dalam Neraka, dan puasa yang akan dijalankannya akan lebih barakah, dan mendapatkan nilai pahala yang berlipat ganda”.[6])
Hal senada juga diungkapkan H. Alwan Wijaya, bahwa “Roah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat desa ini, merupakan ekspresi dan wujud kegembiraan mereka atas datangnya bulan suci Ramadhan, masyarakat meyakini bahwa bulan Ramahdan adalah bulan yang istimewa, bulan penuh berkah, dan bulan di mana pahala dilipat gandakan. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi masyarakat untuk menyambut kedatangan bulan ini melakukan syukuran atau roah. Dengan acara roah ini, masyarakat berharap agar puasa yang akan dilakukannya lebih berkah dan bisa lebih baek dari puasa sebelumnya”.[7])
Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap teradisi masyarakat yang satu ini, dari puasa tahun ini dan puasa tahun sebelumnya, dua tahun berturut-turut, penulis tidak melihat masyarakat Nibas melakukan teradisi ini lagi. Menurut Abu Rohan, hal ini mungkin dikarenakan tingkat kesibukan masyarakat yang semakin tinggi, atau mungkin juga dikarenakan kesedaran masyarakat terutama masyarakat dengan tingkat ekonomi yang memadai berkurang terhadap nilai-nilai dan teradisi masyarakat yang ada. Begitupun yang diungkapkan oleh H. Alwan Wijaya, hanya saja menurut beliau, hal ini juga diakibatkan oleh pergesaran nilai dan budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, masyarakat yang dulunya memegang kuat teradisi yang ada, kini sudah mulai untuk susah ditemui, dikarenakan oleh pengaruh budaya luar terutama yang masuk melalui media masa seperti televisi.

3.      Bederus
Salah satu bentuk teradisi keagamaan masyarakat Nibas dalam vestifal Ramadhan adalah apa yang disebut masyarakat dengan istilah “bederus” atau dalam istilah yang lebih dimengeti yaitu tadarusan. Bederus atau tadarusan yaitu teradisi baca al-Qur’an yang dilakukan oleh masyarakat di setiap mushalla dan masjid yang ada di desa. Yang menarik dari teradisi ini adalah ia dilakukan mulai dari habis tarawih sampai menjelang waktu sahur tiba. Biasanya orang yang melakukan tadarusan sampai menjelang sahur langsung bertugas menjadi orang yang membangunkan masyarakat untuk menunaikan ibadah sunah sahur. Selain itu, teradisi ini juga penuh dengan nilai kultural, di mana masyarakat terutama kaum ibu seakan punya kewajiban untuk memberikan makanan atau sangu bederus dalam istilah masyarakatnya, bagi orang-orang yang melakukan tadurasan baik di masjid maupun di mushalla. Teradisi nganter makanan (naekang) kepada orang-orang yang bederus seakan diatur sedemikian rupa, sehingga setiap malamnya, jama’ah ibu-ibu punya giliran masing-masing untuk nganter makanan. Padahal sepengetahuan penulis, aturan seperti ini tidak ada kesepakatan awal misalnya dari pengurus masjid, namun seakan masyarakat terutama jamaah ibu-ibu seakan punya aturan tersendiri tentang hal ini, sehingga ibu-ibu tidak harus setiap malamnya mengantarkan jamaah tadarusan, namun harus menunggu sampai giliran nganter atau naekang-nya datang.
 Menurut Bapak Tin, salah seorang warga yang sepengetahuan penulis tidak pernah alfa atau absen di masjid untuk tadarusan, ia mengatakan “Bederus adalah salah satu teradisi masyarakat yang harus dipertahankan dan tidak boleh hilang di tengah-tengah masyarakat, karna ia merupakan perintah Nabi, di mana umat Islam diperintahkan untuk memperbanyak ibadah, salah satunya adalah ibadah membaca al-Qur’an. Di samping itu, dia juga melihat bahwa teradisi bederus ini sangat bagus untuk mendidik generasi muda dan anak-anak, karna tak jarang anak-anak muda dan anak-anak juga ikut meramaikan masjid dalam rangka bedurus ini. Karena saat ini, anak-anak sudah semakin jauh dengan ajaran agamanya dan semakin jarang anak-anak yang suka mengaji, tetapi dengan adanya bederus ini, Alhamdulillah ada masih sebagian anak muda dan anak-anak  yang juga rajin ikut bersama kami untuk bederus dan meramaikan masjid, bahkan sampai menjelang orang melaksanak ibadah sunnah sahur.[8])
Berbeda dengan Bapak Tin, Murzani, takmir masjid Nurul Yaqin Nibas, yang memandang teradisi bederus ini hanya sebagai sunnah Rasul, dan perintah agama, serta salah satu cara untuk menghidupkan bulan suci Ramadhan. Sedangkan Sahudi, salah seorang pengurus masjid dan panti asuhan Nurul Yaqin Nibas mengatakan, “bederus merupakan perintah Rasul untuk menghidupkan malam di bulan puasa, dengan bederus inilah kita bisa merasakan bahwa kita berada di bulan puasa, kita bisa bandingkan bagaimana ketika bulan puasa dengan bulan setelahnya, di mana masjid dan musolla sepi, kalau seandainya kita memperlakukan bulan puasa sama seperti bulan-bulan lainnya, maka masyarakat tidak akan merasakan bahwa dia berada di bulan puasa, bederus inilah salah satu pembeda antara bulan puasa dengan bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itu, sampai kapanpun bederus ini harus tetap dilakukan, dan agar bederus ini tetap bertahan anak-anak juga harus mulai dididik dari sekarang dan diajak untuk ikut bederus.[9])
Yang menarik lainnya adalah, apa yang diungkapkan oleh anak-anak yang suka ikut teradisi bederus ini, bagi mereka teradisi dijadikan sebagai sarana uji mental dan uji kemampuan sejauh mana kepintaran mereka dalam membaca al-Qur’an, selain itu ada juga yang melakukan teradisi ini karena perintah orang tua, dan juga sebagian besar mengakui bahwa mereka melakukan teradisi bederus ini untuk memperoleh makanan yang diantarkan oleh jama’ah ibu-ibu. Oleh karena itu, yang terjadi adalah, setelah istirahat sejenak untuk menerima hidangan yang ada, anak-anak biasanya sehabis makan langsung pergi, tanpa harus mengikuti tadarusan lagi.[10])

4.      Mal-Mal
Teradisi masyarakat Nibas lainnya adalah mal-mal­-an, teradisi ini adalah teradisi bakar dile jojor pada malem ke-27 bulan Ramadhan, teradisi ini dilakukan oleh setiap individu di rumah mereka masing-masing, dile jojor ditaruh di halaman dan setiap pojok rumah dan kalau bisa dile jojor harus dipasang sebanyak mungkin di sekitaran rumah dan biasanya dilakuakn setelah berbuka puasa sampai menjelang datangnya waktu shalat isya. Dile jojor sendiri adalah sebuah benda yang dibentuk seperti sate kelapa yang bahan dasarnya dibuat dari buah jamplong (orang sini menyebutnya), biasanya banyak dijual di pasar-pasar teradisional mulai dari 10 hari menjelang lebaran sampai berakhirnya teradisi mal-mal.
Teradisi mal-mal atau bakar dile jojor ini biasanya banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak, walaupun tak jarang juga orang tua ikut melakukannya. Dalam perkembangannya saat ini, masyarakat tidak hanya menyalakan dile jojor melainkan juga menyalakan obor dan lilin yang nyalanya jauh lebih awet dari sekedar dile jojor yang nyalanya tidak bertahan lama.
Menurut Abu Rohan, teradisi mal-mal ini sudah ada sejak lama, semenjak beliau kecil teradisi sudah ada, hanya saja ketika penulis menanyakan istilah mal-mal ini dari mana dan maknanya apa, beliau tidak bisa memberikan jawabannya yang pasti, beliau hanya mengatakan kalau mal-mal-lan ini adalah bentuk apresiasi masyarakat terhadap malam lailatul qadari yang diyakini turun ketika malam ke-27 bulan puasa, teradisi membakar dile jojori adalah cara masyarakat untuk mencari berkah di malam itu, masyarakat berharap rumah-rumah yang dihiasi dile jojor mendapat berkah para malaikat yang turun pada malam lailatul qadar.
Apa yang diungkapkan oleh Abu Rohan juga diamini oleh H. Alwan Wijaya yang memandang bahwa teradisi ini merupakan cara masyarakat untuk mencari berkah pada malam di mana mereka meyakini lailatul qadar turun, rumah-rumah mereka diberkahi dan dilindungi dari segala macam bencana, termasuk dari orang-orang yang masuk ke dalam rumah itu dengan niatan jahat atau tidak baik.

5.      Takbiran (Kebir)
Terakhir adalah teradisi takbiran  yang dilakukan pada malam akhir bulan puasa atau pada malam lebaran idul fitri. Takbiran yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adalah dalam bentuk lomba antar desa, tidak hanya melibatkan desa Nibas saja, namun juga melibatkan desa-desa lainnya, seperti desa Tanak Maik, Orong Geres, Pancor Kopong, dan Kebon Dasan. Teradisi takbiran ini pasti dilakukan pada setiap tahunnya, sebagai apresiasi dan rasa syukur masyakat terhadap datangnya hari raya yang dinanti-nanti.
Tiap-tiap desa biasanya mempunyai perwakilan satu sampe dua perwakilan untuk mengikuti lomba takbiran ini. Tiap-tiap peserta lomba diwajibkan membawa obor dan menghiasi atribut mereka sebagus dan seindah mungkin karena menjadi salah satu aspek penilain dewan juri. Lomba takbiran ini, star atau di mulai setelah shalat isya sampai dengan selesai yaitu sampai dengan acara pembagian hadiah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Desa Masbagik Utara Baru, Khaerul Ikhsan, teradisi takbiran yang dilakukan oleh masyarakat pada tiap tahunnya harus tetap dilestarikan, di samping menjadi sarana memperkuat integritas masyakat desa dan melihat tingkat partisipasi dan apresiasi masyarakay terhadap program-program desa, juga sebagai cara mempertahankan nilai-nilai keagamaan masyarakat dan penanaman kesadaran beragama terutama bagi generasi muda dan anak-anak.[11])

C.  Analisis
Apa yang dilakukan masyarakat hususnya masyarakat Nibas, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, menurut penulis bukanlah sekedar teradisi atau kebiasaan tanpa nilai dan dasar, teradisi-teradisi itu merupakan refleksi masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Masyarakat mempunyai cara, apresiasi, dan ekspresi tersendiri terhadap nilai-nilai agama, dalam hal ini adalah nilai yang terkandung dalam kewajiban puasa Ramadhan. Dari penghayatan dan apresiasi masyarakat ini terhadap ajaran agama inilah yang kemudian memunculkan teradisi di dalam masyarakat itu sendiri.
Misalnya teradisi roah yang dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadhan merupakan refleksi dan ekspresi masyarakat terhadap salah satu hadi Rasulullah yang mengatakan;
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانِ
“Barangsiapa senang dengan masuknya (datangnya) bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya bagi neraka.”[12])
Dari dasar inilah kemudian masyarakat membuat salah satu teradisi “roah” sebagai salah satu wujud kegembiraan mereka terhadap datangnya bulan suci Ramadhan. Dengan teradisi seperti ini, masyrakat berharap mereka termasuk orang-orang yang berbahagia dan bergembira dengan datangnya puasa Ramadhan, dan dengan teradisi ini mereka berharap puasa yang akan dilakukannya sebulan penuh akan mendapatkah berkah dan pahala yang berlipat dari Allah swt.
Contoh lainya adalah teradisi mal-mal yang merupakan refleksi terhadap ajaran Islam yang mengajarkan tentang adanya satu malam yang lebih baik dari seribu bulan atau yang dikenal dengan istilah malam lailatul qadar. Menurut keterangan hadis, bahwa malam ini datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan terdapat pada malam-malam ganjil mulai dari malam ke-21 sampai dengan malam ke-29. Namun menurut beberapa ulama’ ada yang mengatakan bahwa malam ini turun pada malam ke-27 bulan Ramadhan. Oleh dasar inilah kemudian masyarakat membuat salah satu teradisi yang disebut dengan teradisi mal-mal, yaitu teradisi membakar dile jojor disekitaran halaman rumah pada malam ke-27 bulan Ramadhan mulai dari habis berbuka puasa sampai menjelang shalat isya. Dengan teradisi ini, masyarakat berharap rumah-rumah mereka mendapatkan berkah malam lailatul qadar yang dibawa turun oleh para malaikat.
Sebagaimana firman Allah yang mengatakan;
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ   !$tBur y71u÷Šr& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ   ä's#øs9 Íôs)ø9$# ׎öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky­ ÇÌÈ   ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkŽÏù ÈbøŒÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ   íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB ̍ôfxÿø9$# ÇÎÈ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”.[13])
Begitu pula dengan teradisi bederus dan takbiran (kebir), merupakan refleksi dan ekpresi pemahaman masyarakat terhadap ajaran yang terkandung di dalam ibadah puasa Ramadhan. Di mana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memperbanyak ibadah salah satunya adalah ibadah baca al-Qur’an. Allah dan Rasul-Nya menjajikan bahwa pahala orang yang membaca satu huruf dari al-Qur’an pada bulan Ramadhan akan diberikan ganjaran sepuluh kali lipat. Oleh sebab itulah, masyarakat berlomba-lomba menghidupkan malam bulan Ramadhan ini dengan teradisi bederus atau tadarusan dengan harapan apa yang mereka lakukan menjadi amal ibadah mereka yang akan dibalas dengan ganjaran pahala yang berlipat-lipat oleh Allah swt.
Dari beberapa teradisi masyarakat Nibas di atas, penulis tidak mendapatkan atau menemukan dasar dari teradisi bersin puase yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang ada. Sebagaimana yang dijelaskan oleh beberapa informan di atas, bahwa teradisi bersin puasa ini memang telah ada, namun mereka tidak mengetahui dari mana datangnya teradisi ini. Namun menurut penulis sendiri ini juga merupakan repleksi masyarakat terhadap ajaran agama, di mana dalam menyambut datangnya bulan puasa kaum muslimin harus benar-benar siap baik secara mental, sepiritual, dan moral. Kesiapan ini hanya bisa diwujudkan setelah kaum muslimin bisa membersihkan diri  dan hati sebelum datangnya Ramadhan, sehingga puasa yang dilakukan, dijalankan dengan penuh keikhlasan dan rasa harap kepada Allah (ihtisiban). Mungkin atas dasar inilah muncul teradisi bersin puase yang dilakukan masyarakat, walaupun apa yang dilakukan masyarakat dalam teradisi ini bukan membersihkan diri, namun  justru mengotori diri dengan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya jauh dari ajaran Islam.

D.      Kesimpulan
Persentuhan Islam dengan budaya lokal masyarakat Nibas, Masbagik Utara Baru, kabupaten Lombok Timur dalam vestifal Ramadhan pada dasarnya merupakan repleksi dan apresiasi masyarakat terhadap pemahaman mereka tentang ibadah puasa Ramadhan itu sendiri. Dari sinilah kemudian muncul berbagai macam bentuk kultur atau teradisi lokal masyarakat Nibas dalam perayaan atau pelaksanaan ibadah suci Ramadhan ini. Seperti teradisi bersin puasa, roah, mal-mal, bederus, dan takbiran atau kebir.
Teradisi-teradisi masyarakat dalam pelaksanan Ibadah puasa ini menurut penulis harus dilestarikan dan dijaga, selain sebagai identitas masyarakat juga menjadi sarana mempertahankan dan mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama dalam bingkai teradisi lokal masyarakat, selama ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.



[1]  Q.S. Al-Baqarah : 183.
[2] Aq Sumarni merupakan warga desa Nibas Masbagik Utara Baru  yang berusia sekitar 65 tahun, walaupun ia bukan tokoh Agama, Masyarakat, ataupun Adat, tapi ia merupakan salah seorang yang dihormati dan dituakan di tengah-tengah masyarakat desa.
[3] Pancor Kopong merupakan salah satu tempat pariwisata berupa air terjun yang dijadikan sumber mata air bagi masyarakat sekitar, bahkan oleh pemerintah kabupaten Lombok Timur.  Ia terdapat di daerah Masbagik Utara Baru, letaknya tidak jauh dari desa Nibas, bisa ditempuh dengan jalan kaki.
[4]  Wawancara dengan Aq. Sumarni pada hari Sabtu, tanggal 24 November  2012.
[5] Wawancara dengan Khaeril Anwar, salah seorang pemuda Nibas, yang saat ini menjabat sebagai Kapala Urusan Umum Desa Masbagik Utara Baru. Menurut pengakuannya ia juga sering bahkan hampir setiap tahunnya pergi melakukan apa yag disebut oleh masyarakat ini dengan istilah “bersin puase”. Sabtu, 24 November 2012.
[6] Wawancara dengan Abu Rohan, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama masyarakat Nibas, Mabagik Utara Baru, yang saat ini berusia hampir 80 tahun. Ahad, 25 November 2012.
[7] Wawancara dengan H. Alwan Wijaya pada hari Ahad, 25 November 2012. Beliau adalah salah seorang tokoh agama dan juga masyarakat, sama seperti Abu Rohan, yang saat ini berusia 73 tahun.
[8] Wawancara dengan Bapak Tin, salah seorang warga Nibas, walaupun dia bukan tokoh masyarakat dan agama, tapi sangat dihormati oleh masyarakat Nibas, karena beliau sering ditugaskan untuk menjadi bilal baik dalam solat jum’at maupun solat hari raya idul fitri dan idul adha, selain itu beliau juga adalah orang yang dipercaya masyarakat dalam urusan sembelih-menyembelih kambing dan sapi. Ahad, 25 November 2012.
[9]  Wawancara dengan Murzani dan Sahudi, Ahad, 25 November 2012.
[10] Wawancara dengan Wahyu (kls 3 SMP), Haekal (Kls 1 SMP), Radit (kls 1 SMP), Zamroni (kls 6 SD), dan Adin (kls 6 SD), mereka adalah sebagian anak-anak yang suka ikut meramaikan masjid dalam rangkan menghidupkan malam puasa dengan teradisi bederus. Ahad, 25 November 2012.
[11]  Wawancara dengan kepala desa Masbagik Utara Baru (Khaerul Ikhsan). Ahad, 25 November 2012, di rumah kediaman beliau di Dusun Jagal, Nibas.
[12] Walaupun hadis ini dianggap hadis palsu (maudhu’), namun hadis ini sudah menjadi salah satu hadis masyhur di tengah-tengah masyarakat, banyaknya para da’i dan ust yang menggunakan hadis ini dalam ceramah-ceramah menyambut datangnya Ramadhan sehingga ia menjadi pemahaman yang mengakar di tengah-tengah masyarakat.
[13] Q.S. al-Qadr : 1-5.